Jumat, 07 Desember 2012

PERUBAHAN HUKUM DAN MASYARAKAT


PERUBAHAN HUKUM & PERUBAHAN SOSIAL
Oleh
KARTINI KADIR
ABSTRACT
Achmad Ali, who as Dean of the Faculty of Law University of Hasanuddin Period I 1995-1998, Dean II, 1998-2001, after helping Dean III (two periods) and assist the Dean II (3 / 4 period). He has written a book that became my guide, entitled "Exploring the Empirical Assessment Against the Law". There are several reasons why Achmad Ali chose that title. First to equate with the previous titles. Second: why he did not expressly make the title Review of Sociology of Law, because according to the estimate, due to the tremendous development of the sociology of law (first class) at this time, in the next few years the sociology of law (first class) will develop into many new sub which is a field the new force-field of sociology who may use a different name.
What is social change that? The term "change" in the sense of the everyday, often loosely defined as something that exists but did not previously exist, or the loss or elimination of something, although previously there. But not all change is social change. In the most concrete sense, social change means that most people involved in group activities and relationships of different groups with what they have done or what his parents had done before. Changing relationships and behaviors are also changing at the same time. Individuals are faced with new situations which they must respond. These situations reflect certain factors such as technology, new ways to earn income, domicile change, and new innovations, new ideas and new values​​. So that means a restructuring of social change in fundamental ways in which people in the community involved with each other concerning government, economics, education, religion, family life, recreation, languages​​, and other activities.
Changes in social conditions, technology, knowledge, values​​, and attitudes, therefore, can lead to changes in the law. In this case, the law is reactive and follow social change. Note however, that the change of law is one of many responses to social change. But the change of law is important, because it represents the legal authority of the state and the power of sanctions. The new law in response to social problems or issues of new technologies may be able to magnify the problem - or it may be able to solve problems and help resolve the issue. Often, the legal response to social change, which is definitely over a period of time (time lag), will lead to new social changes.
PENDAHULUAN
Achmad Ali yang selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Periode I 1995-1998, Dekan II 1998-2001, setelah membantu Dekan III (dua periode) dan membantu Dekan II (3/4 periode). Beliau telah menulis buku yang menjadi pedoman saya yang berjudul “Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum”. Ada beberapa alasan mengapa Achmad Ali memilih judul tersebut. Pertama untuk menyamakan dengan judul buku sebelumnya. Kedua : mengapa beliau tidak tegas membuat judul Kajian Sosiologi Hukum, karena menurut estimasinya, akibat perkembangan yang sangat pesat dari sosiologi hukum (angkatan pertama) saat ini, dalam beberapa tahun mendatang sosiologi hukum (angkatan pertama) akan berkembang menjadi banyak sub baru yang merupakan bidang-bidang sosiologi angkatan baru yang mungkin menggunakan nama lain.
Di dalam buku pegangan saya akan ada beberapa bab yaitu diantaranya Kajian empiris tentang hukum; Hukum tidak otonom; Sosiologi hukum Max Weber; Tipe-tipe masyarakat; Efektifitas hukum; Perubahan hukum dan perubahan sosial; Pengaruh timbal balik antara hukum dan faktor non hukum; dan Profesi hukum dan aktor hukum. Sedangkan yang saya akan bahas yaitu bab 6 Perubahan hukum dan perubahan sosial yang berada pada halaman 239-270. Dalam bab ini ada beberapa poin yang akan dibahas yaitu Hubungan antara perubahan-perubahan sosial dengan hukum; Pengaruh perubahan di bidang teknologi terhadap hukum; Hukum sebagai sarana pengatur perilaku; Perubahan Sosial, Khususnya Urbanisasi dan Dampak Negatifnya; dan Teori-teori perubahan.
Pembahasan yang akan saya bawakan mungkin agak menarik bagi saya karena dimana di dalam pembahasan ini ada beberapa pakar yang saling berbeda pendapat mengenai perubahan yang mempengaruhi satu sama lain.
Di dalam Perubahan hukum dan perubahan sosial ada pendapat yang mengemukakan bahwa hukum akan melakukan transformasi jika warga masyarakatnya sudah melakukan perubahan terlebih dahulu. Dan adapun yang berpendapat bahwa hukum juga bersifat andil di dalam melakukan perubahannya karena hukum mungkin mempunyai pengaruh langsung atau pengaruh tidak langsung di dalam mendorong terjadinya perubahan sosial. Misalnya suatu peraturan yang menentukan sistem pendidikan tertentu bagi warga negara mempunyai pengaruh secara tidak langsung yang sangat penting bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial.
Keadaan-keadaan yang positif, apalagi bila proses tersebut tidak berjalan secara teratur. Hukum berperan untuk menjamin bahwa perubahan-perubahan tadi terjadi dengan teratur dan tertib. Walaupun demikian, sebagai alat untuk mengubah masyarakat dan menjamin ketertiban proses perubahan tersebut, maka hukum mempunyai batas-batas kemampuan terkait oleh kondisi-kondisi tertentu. Apabila batas-batas dan kondisi-kondisi tersebut diperhatikan, dimengerti dan diterapkan maka sebagai alat mempunyai harapan-harapan yang positif dalam mengubah masyarakat serta mendukung pembangunan.

PEMBAHASAN
A.  Pengantar
Salah satu kajian sosiologi hukum adalah bahasan tentang perubahan hukum dan perubahan masyarakat.
Untuk mengembangkan pendekatan ini, pembahasan ini memfokuskan diri pada kajian sosiologis, namun tidak ada suatu disiplin tunggal dapat mengklaim memiliki seluruh teori dan metode riset untuk melakukan suatu analisis krisis terhadap perubahan hukum dan perubahan masyarakat. Usaha ini harus lebih menggunakan cara pengkombinasian daripada menggunakan cara pemisahan terhadap topik tersebut.
Untuk mengembangkan pengetahuan tentang perubahan hukum dan perubahan masyarakat, serta hubungan keduanya; kita harus pertama-tama mengakui bahwa terdapat cara yang berbeda-beda dimana kita dapat bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana perubahan hukum dan perubahan masyarakat terkait satu sama lain.
Di dalam pembahasan ini akan membahas topik perubahan hukum dan perubahan masyarakat itu dengan mengemukakan contoh-contoh perubahan diberbagai tempat di dunia ini seperti penuturan Gerald Turkel berikut.
Di dalam kajian terdapat perubahan hukum dan perubahan masyaraka, Gerald Turkel (1996:3-5) antara lain mengawali bukunya dengan mengemukan tentang gerakan populer dalam hubungan kekuasaan politikdan kekuasaanekonomi yang telah menyapu habis pembagian dan konflik masa lalu. Seperti yang dikemukakan oleh Flacs, bahwa tatana Perang Dingin telah membentuk pengendalian dan penggunaan sumber-sumber materiel, organisasi politik dan ekonomi, serta cara berfikir dari akhir Perang Dunia II di 1945 telah diruntuhkan. Di dalam kebangkitannya, dunia mengalami epoch-making “(membuka zaman baru) dengan berbagai perubahan. Di Eropa, di Negara-negara bekas Uni Soviet, di Amerika Latin, dan di Cina terjadi berbagai perubahan sebagai berikut:
1.    Perubahan dalam kebutuhan dan perjuangan yang beraneka ragam bagi demokrasi konstitusional;
2.   Perubahan yang berwujud suatu kehidupan yang meteril yang lebih kaya;
3.   Perubahan dalam otonomi nasional;
4.   Perubahan dalam pranata sosial, diantaranya perubahan dalam:
a.    serikat dagang;
b.    asosiasi profesional;
c.    universitas-universitas;
d.   gereja-gereja;
e.     partai-partai politik;
dimana semuanya itu lebih independen dari pada keadaan sebelumnyayang masih bergantung penuh pada negara. Perubahan tersebut menentukan sejarah.
Perjuangan ini membawa hasil dalam bentuk political freedom (kebebasan politik) dan individual liberty (kekebasan individual) bagi rakyat di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pada saat yang sama, sekelompok persoalan muncul kepermukaan, yaitu :
1)   Kesulitan ekonomi (economic hardships);
2)  Konflik-konflik kelas gender;
3)  Dibeberkannya sejarah etnis dan rasa permusuhan nasional.
Jabatan tangan antara menteri Yitzhak Rabin dari Israel dengan Yasser Arafat, Presiden Organisasi Pembebasan  Palestina, menjadi simbol penuh harapan terhadap perubahan.
Kebencian dan pertumbahan darah di antara rakyat Negara Bekas Yugoslavia menampakkan kapasitas kebrutalan dan agresivitas manusia.
Pusat perubahan ini adalah memperbarui usaha-usaha penggunaan hukum untuk mewujudkan keadilan, demokrasi, dan masyarakat yang bersemangat ekonomi, dimana di dalamnya terdapat nilai-nilai yang berjenis-jenis di antara individu-individumaupun kelompok-kelompok; serta pengakuan terhadap pentingnya kelangsungan hidup dalam perhubungan antara proses-proses sosial dan proses-proses ekonomi dengan natural world.
Di Eropa Tengah, perubahan yang berkaitan dengan hukum itu tentang persoalan pembatasan kekuasaan negara dan tentang mewujudkan persamaan politiktelah dilakuan oleh orang seperti mantan Presiden Republik Ceko, Vaclav Havel, yang telah menghabiskan usianya selama bertahun-tahun di penjara sebagai akibat perlawanannya terhadap pemerintah komunis.
Di Negara-negara bekas Uni Soviet, usaha untuk membangun negara hukum untuk menggantikan Negara Partai Komunis pada umumnya telah berhasil. Yang mendasari visi ini adalah usaha untuk menciptakan sistem hukum yang independendari partai politik dan sumber-sumber birokrasi kekuasaan.
Di Cina, usaha untuk melakukan modernisasi dan desentralisasi di bidang ekonnomi, telah membawa pada kemunculan pranata-pranata hukum seperti pengadilan dan profesi hukum terhadap berbagai konflik yang berkaitan dengan kontak dan pemilikan. Ini, pada gilirannya, membuka konflik yang lebih luas tentang pranata politik demokratis.
Di Afrika Selatan, Nelsen Mandela, Mantan pemimpin Kongres Nasional Afrika dan presiden pertama kulit hitam terpilih, telah membongkar rasialis melalui pengkombinasian antara gerakan politik, tekanan perekonomian dan negosiasi dengan mantan presiden Botha dan Partai Nasional. Hal ini sebagian telah dilakukan dengan mendirikan dasar konstitusional bagi persamaan hak untuk seluruh warganegara di bawah resmi suatu hukum.
Di Amerika Latin, pemilihan pemerintahsecara luas telah munculyang menjanjikan pembatasan kekuasaan terhadap golongan oligarkie kaya dan juga pembatasan terhadap golongan militer, dan menyelesaikan konflik-konflik melalui hukum dan pranata-pranata hukum.
Dari contoh-contoh di atas, terbukti betapa besarnya hubungan timbal-balik antara perubahan hukum dan perubahan masyarakatnya.
Perubahan di bidang teknologi misalnya, sangat besar pengaruhnya terhadap hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum. Pengaruh teknologi penyiaran televisi sebagai contoh, sangat mempengaruhi meningkatnya kriminalitas di kota-kota tertentu. Dan tentu saja pengaruhi serupa juga di timbulkan oleh penggunaan teknologi internet yang dewasa ini semakin meluas penggunaannya.
Ketika masyarakat berubah secara drastis dan dinamis, hukum khususnya perundang-undangan cenderung lamban dan statis di dalam mengejar perubahan tersebut. Tidak heran kalau muncul pameo hukum yang mengatakan : het recht hink achter de feiten aan (hukum senantiasa tertatih-tatih mengejar peristiwa yang seyogianya diaturnya).
B.  Hubungan antara Perubahan-perubahan Sosial dengan Hukum
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi  di dalam suatu masyarakatdapat terjadi oleh bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari masyarakat itu sendiri (sebab-sebab intern) maupun dari luar masyarakat (sebab-sebab ekstern). Sebagai sebab-sebab intern antara lain dapat disebutkan, misalnya pertambahan penduduk atau berkurangnya penduduk; penemuan-penemuan baru; pertentangan (conflict); atau mungkin terjadinya revolusi. Sebab-sebab ekstern dapat mencakup sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, peperangan dan seterusnya. Suatu perubahan sosial lebih mudah terjadi apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat lain atau telah mempunyai sistem pendidikan yang maju. Sistem lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen serta ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu, dapat pula memperlancar terjadinya perubahan-perubahan sosial, sudah tentu da samping faktor-faktor yang memperlancar proses perubahan-perubahan sosial, dapat juga diketemukan faktor-faktor yang menghambatnya seperti sikap masyarakat yang mengagung-agungkan masa lampau (tradisionalisme), adanya kepenting-kepentingan yang tertanam dengan kuat (vested-interest), prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing, hambatan-hambatan yang bersifat ideologis, dan seterusnya. Faktor-faktor tersebut di atas sangat mempengaruhi terjadinya perubahan-perubahan sosial beserta prosesnya.
Saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan sosial pada umumnya adalah lembaga kemasyarakatan di bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama dan seterusnya. lembaga kemasyarakatan merupakan titik tolak namun, tergantung pada penilaian tertinggi yang diberikan oleh masyarakat terhadap masing-masing lembaga kemasyarakatan tertentu.
Di dalam proses perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum, dan badan-badan pelaksana hukum. Adanya badan-badan pembentuk hukum yang khusus, adanya pengadilan yang menegakkan hukum serta badan-badan pelaksana yang menjalankan hukum, merupakan ciri-ciri yang terdapat pada negara-negara modern. Pada masyarakat sederhana, ketiga fungsi tadi mungkin berada di tangan satu badan tertentu atau yang diseraahkan pada unit-unit terpenting dalam masyarakat seperti keluarga luas. Akan tetapi, baik pada masyarakat modern maupun sederhana ketiga fungsi tersebut dijalankan dan merupakan saluran-saluran melalui mana hukum mengalami perubahan-perubahan.
Di Indonesia, menurut Undang-Undang Dasar 1945, kekuasaan untuk membentuk dan mengubah Undang-Undang Dasar pada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan kekuasaan untuk membentuk undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya yang derajatnya berada dibawah undang-undang, ada ditangan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan kehakiman antara lain mempunyai fungsi untuk membentuk hukum.
C.   Pengaruh Perubahan Di Bidang Teknologi Terhadap Hukum
Taylor Parsons, sebagai mana diuraikan oleh Satjipto Raharjo (1979 : 153) mengemukakan bahwa :
“...penemuan di bidang teknologi merupakan penggerak perubahan sosial, sebab penemuan yang demikian itu, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang berantai sifatnya”.
Namun demikian, perubahan yang ditimbulkan tidak senantiasa dalam wujud perubahan positif atau yang bermanfaat, sebab penemuan di bidang teknologi canggih (seperti televisi, parabola, komputer, kaset, taperecord, faksimile, internet, video, laserdisc, fotografi dll) serta penggunaannya, secara langsung ataupun tidak langsung dapat menimbulkan dampak negatif yaitu dapat menjadi faktor yang mendorong terjadinya kejahatan, kekerasan atau meningkatkan kualitas suatu kejahatan kekerasan tertentu.
Contoh yang dewasa ini banyak terjadi adalah banyak kejahatan seksual, termasuk pemerkosaan terjadi karena pelakunya terangsang setelah menonton iklan erotis dan film-film erotis baik melalui bioskop, televisi, kaset video, CD-Rom, Laser CD, internet dsb.
Demikian pula film-film yang menonjolkan kekerasan dan sadisme, baik melalui bioskop dll, mau tak mau membentuk “budaya kekerasan” dalam jiwa bawah sadar remaja-remaja dan kanak-kanak yang menontonnya, yang turut mendorong terjadinya tawuran antara kelompok-kelompok generasi muda.
Selaras dengan apa yang di kemukakan diatas, Loebby Loqman (Makalah Penalaran Sosiogi Hukum Tanggal 18-29 September 1995) mengemukakan bahwa :
“Perkembangan iptek ini tentunya membawa dampak baik positif maupun negatif, serta akan mempengaruhi perkembangan masyarakat bukan saja  di man penemuan hukum iptek tersebut terjadi akan tetapi sifatnya lebih menyeluruh. Perkembangan iptek dalam bidang transformasi dan informasi membawa dampak sedemikian rupa sehingga sulit dibatasi oleh batasan wilayah yang bersifat konversional. Demikian puka dengan informasi yang selalu berkembang, pengetahuan atas sesuatu hal tidak saja dimiliki oleh masyarakat tertentu akan tetapi sudah sedemikian meluas. Nilai dalam suatu masyarakat tertentu akan terbawa dan berpengaruh pada masyarakat lain yang sebelumnya tidak didapatinya”.
Akibat pengaruh drastis komunikasi modern juga mengubah berbagai konsep tradisional tentang nilai dan kaidah yang tadinya diwariskan secara turun-temurun selama ribuan tahun, tetapi diberantakkan hanya dalam waktu sekian tahun saja. Hal ini tidak terkecuali terhadap perspeksi moral mengenai hubungan seksual dan pemerkosaan.
Perspeksi dan nilai tradisional di atas segala dapat berubah hanya dalam tempo singkat sebagi akibat penggunaan teknologi modern yang sangat canggih tadi.
Salah satu hal yang juga berubah adalah modus operandi kejahatan, seperti misalnya penggunaan komputer untuk melakukan kejahatan korupsi, pencurian dan sebagainya. Pencurian dengan modus operandi baru tampak pada penggandaan nomor telepon seluler, dimana pulsa si pelaku di bayarkan oleh orang yang di gandakan.
Yang cukup menarik, adalah bahwa penemuan-penemuan baru di bidang teknologi, juga dapat menjadi faktor pendorong meningkatnya kualitas kejahatan kekerasan seperti yang antara lain dikemukakan oleh Koesparmono Irsan ketika menjelaskan tentang profesional di kalangan kepolisian (Banurusman, 1995: 8-9) :
“Profesionalisme berbanding lurus dengan situasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta situasi dan tantangan dalam menerapkan hal ini. Keduanya selalu berubah dan berkembang sebagaimana ilustrasi berikut ini: Polisi sebelum zamannya Alfonso Berthilon datang ke suatu TKP (Tempat Kejadian Perkara) pencurian, tidak mencari sidik jari. Ia dapat di katakan sudah profesional karena pada saat itubelum ada teknik identifikasi sidik jari. Ilmu pengetahuan terus berkembang, begitu pula dengan ilmu penunjang teknis kepolisian. Pada zaman dahulu, untuk menyidik pembunuhan belum ada teknik fingerprint identifikasion sehingga para penjahat membuang mayat korban begitu saja. Setelah polisi mengetahui ilmu sidik jari, para penjahat makin sadis memotong dan membuang jari-jari tangan korban serta merusak mukanya atau membuatnya menjadi serpihan-serpihan kecil. Bahkan kadang-kadang di kombinasikan dengan cara membuangnya pada bak berisi asam pekat atau air raksa. Polisi terus berlari mengejar dengan menggunakan teknik peta DNA manusia yang diambil dari sampel serpihan daging manusia ada darah yang ada di TKP. Hal ini di lakukan karena setiap manusia mempunyai Peta Genetik DNA yang berbeda dengan kombinasi Odotologi Ilmu Kedokteran untuk mengenali korban dari susunan giginya. Apakah penjahat berhenti di sini? Ternyata tidak. Di Cengkareng, Jakarta Barat, pernah terjadi kasus dengan motif penggelapan kendaraan bermotor yang mengakibatkan seorang pegawai suatu dealer kendaraan di sekap oleh orang yang akan di tagihnya (pembeli kendaraan) kemudian dimasukkan ke ruang tertutup bersekat baja untuk di bakar atau di musnahkan mayatnya. Untungnya penyidik masih dapat mengenali dengan cara mengidentifikasi giginya”.
Banurusman (ibid) melanjutkan bahwa :
“Pernyataan kita adalah bagaimana kalau penjahat makin canggih lagi? Bila ia berpikir kalau di buang kelaut masih akan dapat menyulusuri jejaknya kalau atau bila dibakar masih ada abunya, kalau ia berinovasi lagi dengan menggunakan teknik yang dapat menguapkan mayat korban sehingga hilang sama sekali jejaknya di udara, dengan teknologi seperti apa polisi harus mencarinya? Hal ini lain sekali dengan teknologi militer, sewaktu peralatan masih konvensional belum ada senjata nuklir, terjadi perang global (perang dunia I dan II). Pada abad ini nuklir merupakan teknlogi canggih atau teknologi pembunuh massal, apa yang terjadi? Malah perang dunia berakhir karena masing-masing takut hancur dan yang ada adalah perang lokal kecil-kecilan secara sporadis, karena itu senjata nuklir disebut sebagai peace keeper. Berpijak dari hal ini, tidak pada tempatnya lagi bagi menuntut polisi sebagai sosok Superman yang serba. Sedangkan masyarakat tidak tahu atau pokoknya harus serba bisa”.
Milton Chen (1996:33), salah satu pemikir terbesar dengan wawasan sangat luas dalam bidang pertelevisian anak-anak, mengemukakan bahwa :
“Suatu pengumpulan pendapat yang dilakukan Newsweek pada tahun 1992 mengungkapkan bahwa 49% dari orang-orang yang disurvey menganggap televisi sebagai pemberi pengaruh terbesar pada anak-anak. Hanya 26% responden beranggapan bahwa pembeeri pengaruh terbesar adalah orang tua. Dan 49% mengatakan mereka menganggap televisi memberika pengaruh negatif pada anak-anak”.
Khusus mengenai pengaruh televisi pada pembentukan karakter kekerasan pada anak-anak, Milton Chen (ibid : 51) mengungkapkan hasil penelitian yang dilakukan Dr.Tannis Macbeth Williams dan para periset lain dari Universitas British Columbis di Kanada, yang membandingkan tingkat agresi pada anak-anak kelas satu dan dua SD dari dua kota Kanada – yang satu mempunyai TV, dan yang lain tidak bisa menerima TV karena terhalangderetang pegunungan. Ketika kota pegunungan itu akhirnya bisa menerima TV, tingkat pukul-memukul, Gigit-menggigit, dan dorong-mendorong pada anak-anak itu meningkat sebesar 160%.
Oleh karena itu secara tegas, periset TV Dr.Leonard Eron dari Universitas Michigan (ibid : 55) menyatakan bahwa :
“Satu-satunya kelompok yang menyangkal adanya hubungan antara merokok dengan kanker adalah orang-orang dalam industri tembakau. Dan satu-satunya kelompo orang yang menyangkal adanya hubungan antara kekerasan dan televisi adalah orang-orang kalangan industri hiburan.”
Namun demikian yang dikemukakan pada tahun 1972 oleh Steinfeld itu hingga saat ini tidak kunjung dilakukan. Kenyataannya mengingat saluran-saluran televisi telah semakin marak, begitu pula kekerasan di televisi telah jauh lebih menonjol dan meluas.
Pengaruh televisi dan alat elektronik canggih lainnya terhadap tindak kekerasan tawuran pelajar dan mahasiswa juga diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Prof.Dr.Ing Wardiman Djojonegoro (Fakta 309 Edisi 1 juni 1996 : 12) :
“...bahwa pada dasarnya faktor penyebabnya adalah faktor ekstern dan intern. Faktor intern misalnya, banyak pelajar yang energik tapi tak punya tempat penyaluran. Ditambah lagi dengan faktor ekstern berupa tayangan film-film kekerasan, tersedianya sarana permainan ketangkasan yang bersifat kekerasan, dan sebagainya”.
D.   Hukum sebagai Sarana Pengatur Perilaku
Perubahan yang terjadi secara drastis dalam era globalisasi ini, juga menyebabkan terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat. Terjadinya pergeseran nilai dalam keluarga maupun lingkungan yang lebih luas. Oleh karena itu pengaruh keluarga dan lingkungan yang lebih luas, juga seyogianya mendapat perhatian sosiologi hukum.
Sebagai sarana social engineering, hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan  untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah diterapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi didalm bidang ini adalah adalah apabia terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment (Gunnar Myrdal 1968:Chapter 2 dan 18), di mana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu akan timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari bentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan (justitiable),maupun golongan lain dimasyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan, karena merupakan suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan, tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Kalau hukum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan tersebut, maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja. Kecuali pengetahuan yang mantap tentang sifat hakikat hukum, juga perlu diketahui adalah batas-batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana (untuk mengubah ataupun mengatur perilaku warga warga masyarakat). Sebab, sarana yang ada membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menetukan sarana-sarana apakah yang tepat untuk dipergunakan.
Suatu contoh dari uraian di atas misalnya, perihal komunikasi hukum. Kiranya sudah jelas, supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi perilaku warga masyarakat, maka hukum tadi harus disebarkan sluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat bagi penyebar serta pelembagaan hukum. Komunikasi hukum tersebut dapat dilakukan secara formal, yaitu melalui suatu tata cara yang terorganisir dengan resmi. Disamping itu, ada juga tata cara informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana pengubah dan pengatur perilaku. Ini semua termasuk apa yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam masyarakat yang bersangkutan. Proses difusi itu antara lain dapat dipengaruhi oleh :
a.    pengakuan, bahwa unsur kebudayaan yang bersangkutan (di dalam hal ini hukum), mempunyai kegunaan;
b.    ada tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang mungkin merupakan pengaruh negatif  ataupun positif;
c.    sebagai suatu unsur yang baru, maka hukum tadi mungkin akan ditolak oleh masyarakat, oleh karena berlawanan dengan fungsi unsur lama;
d.   kedudukan dan peran dari mereka yang menyebarluaskan hukum, mempunyai efektifitas hukum di dalam mengubah serta mengatur perilaku warga masyarakatnya.
Inilah yang merupakan batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana pengatur atau pengubah perilaku. Dengan kata lain, masalah yang bersangkut-paut dengan tata cara komunikasi itulah yang terlebih dahulu harus diselesaikan. Untuk dapat mengidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan hukum sebagai sarana pengatur perilaku, maka harus dibicarakan perihal struktur penentuan pilihan para manusia, sarana yang ada untuk mengadakan social engineering melalui hukum, hubungan antara hukumdengan perilaku, dan selanjutnya.
Kiranya telah jelas bahwa di dalam rumusan yang sederhana, maka masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok, yang di dalam kehidupannya berkaitan secara langsung dengan penentuan pilihan terhadap apa yang ada di dalam lingkunan sekitarnya. Pilihan-pilihan yang dapat dilakukakan, dibatasi oleh suatu kerangka tertentu. Artinya, kalau dia sudah melampaui batas-batas yang ada, maka mungkin dia menderita. Sebaliknya, kalau dia berada dibatas-batas tertentu, maka dia akan mendapat imbalan-imbalan tertentu pula. Inilah yang semuanya terkait pada kepentingan-kepentingan manusia pribadi maupun di dalam kehidupan kelompok. Dengan demikian, maka lingkungan sekelilingnya, menyediakan pembatasan-pembatasan atau kebebasan-kebebasan bagi pribadi dan kelompok-kelompok sosial. Hans Kelsen pernah mengemukakan pendapatnya sebagai berikut (Hans kelsen 1961 : 58) :
“..the legal norm does not, like the moral norm, refer to the  behavior of one individual only, but to the behavior of two individuals at least; the individual who commits or may commit the delict, the deliquent, and the individual who ought to execute the sanction”.
Artinya, suatu kaidah hukum yang berisikan larangan atau suruhan atau kebolehan bagi subjek hukum, sekaligus merupakan kaidah hukum bagi penegak hukum untuk melakukakan tindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran. Kaidah hukum yang pertama disebutnya adalah kaidah kaidah sekunder, sedangkan yang kedua disebutnya adalah kaidah hukum primer. Model ini sedikit banyak menunjukkan bahwa kaidah hukum mempengaruhi perikelakuan. Hal ini disebabkan karena pemegang peranan menetukan pilihan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh lingkungannya. Kaidah-kaidah hukum dan adanyapenegak-penegak hukum, merupakan salah satu batas untuk melakukan pilihan tersebut. Hukum berproses dengan cara membentuk struktur pilihan-pilihan para pemegang peranan, melalui aturan-aturan serta sarana-sarana untuk mengusahakan konformitas (yang dalam arti lain, wujud sanksi). Proses tadi berjalan dengan cara :
a.    penetapan kaidah-kaidah hukum yang harus dipatuhi oleh pemegang peranan;
b.    perumusan tugas-tugas penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan positi atau negatif, sesuai dengan apakah ada kepatuhan atau pelanggaran terhadap kaidah-kaidah hukum, sehingga (Hans Kelsen 1961 : 16)
“The secondary norm stipulates the behavior which the legal sanction endeavours to bring about stipulating the sanction”.
Uraian Kelsen tersebut, hanya terbatas pada hubungan antara kaidah –kaidah hukum tersebut. Padahal baik pembentukan hukum, penegakan hukum maupun para pencari keadilan, kesemuanya adalah penegak peranan yang mempunyai struktur pilihan yang ditentukan oleh lingkungannya masing-masing.
E.   Perubahan Sosial, Khususnya Urbanisasi dan Dampak Negatifnya
Berkaitan dengan prinsip hukum itu tidak otonom maka lahirnya kejahatan pun termasuk tentunya kejahatan kekerasan tidak terlepas dari kondisi masyarakatnya, senantisa tergantung (tidak mandiri) terhadap berbagai faktor yang ada dalam masyarakatnya. Perubahan sosial disektor manapun mau tidak mau akan mempengaruhi pula sektor hukum, termasuk berpengaruh terhadap peningkatan kejahatan dimana di dalamnya terdapat berbagai jenis kejahatan seperti penganiayaan, tawuran unjuk rasa yang diwujudkan dengan berbagai tindakan kekerasan yang telah merupakan kejahatan seperti perusak barang milik orang lain ataupun barang-barang milik umum, pencurian dengan kekerasan (perampokan), pembunuhan dan sebagainya.
Hukum termasuk pernyimpangan yang kita kenal sebagai kejahatan, sebagai fenomena sosial terpaksa tunduk pada teori-teori perubahan sosial yang dikenal di dalam sosiologi.
Salah satu penyebab meningkatnya kriminalitas adalah terjadinya perubahan sosial, dan salah satu penyebab terjadinya perubahan sosial adalah pertambahan maupun pengurangan penduduk. Salah satu perwujudan dari pertambahan penduduk di perkotaan adalah urbanisasi.
Selain itu faktor-faktor lain sebagai penyebab perubahan antara lain :
a.    penemuan-penemuan baru;
b.    revolusi sosial;
c.    konflik intern;
d.   peperangan;
e.     bencana alam; dan
f.     pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Selain yang di kemukakan di atas, masih terdapat beberapa faktor yang mempercepat proses perubahan, yaitu :
a.    kontak dengan kebudayaan lain;
b.    penduduk yang heterogen;
c.    toleransi terhadap tindakan-tindakan penyimpangan;
d.   sistem pendidikan yang modern;
e.     sikap menghargai hasil karya orang lain;
f.     motivasi untuk maju;
g.   ketidahpuasan terhadap sektor-sektor tertentu dalam kehidupan masyarakat;
h.    animo untuk meningkatkan taraf hidup.
Salah satu akibat industrialisasi adalah meningkatnya urbanisasi. Menurut Hans-Dieter Evers (1982 :449) :
“Urbanisasi merupakan salah satu proses yang tercepat di antara perubahan-perubahan sosial di seluruh dunia. Transformasi-transformasi sosial dan demografis bersamaan dengan tumbuhnya penduduk kota dunia sebanyak lebih dari dua kali lipat antara tahun 1950-1960 (dari kira-kira 313 juta menjadi 655 juta orang). Sekitar tahun 1975bpenduduk kota di dunia di atas garis 1.000 juta. Belum lam berselang urbanisasi dan pertumbuhan kota dipandang sebagai suatu indikator modetnisasi dan kemajuan. Pada tahun 1958 Daniel Lrner masih dapat menyatakan bahwa urbanisasi merupakan prakondisi untuk modernisasi dan pembangunan; adalah perpindahan penduduk dari daerah pedalaman ke pusat-pusat kota yang menstimulasi kebutuhan dan penyediaan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk ‘tinggal landas’ ke arah partisipasi yang lebih meluas. Kota-kota menghasilkan alat-alat mesin untuk modernisasi. Dewasa ini para ahli menjadi kurang optimis terhadap urbanisasi. Kota-kota tidak dipandang lagi sebagai pusat perubahan dan maju, tetapi sebagai daerah-daerah kritis..dipandang sebagi pusat-pusat problem sosial, buta huruf, penyakit, kejahatan, dan kemiskinan...”
Tentu saja laju urbanisasi jika tidak disertai perangkat hukum yang antisifatif dan efektif, pasti akan menimbulkan berbagai dampak yang cukup mengerikan, misalnya peningkatan kejahatan kekerasan secara cukup drastis.
Kesenjangan antara daerah kumuh dan elit di perkotaan, ukurannya bukan sekadar ukuran ekonomi saja, melainkan juga terdapat perbedaan jenis kejahatan favorit masing-masing daerah itu, yaitu pada daerah elit selain kejahatan kekerasan juga tentunya santer dengan jenis white collar crime, sebaliknya pada daerah kumuh takkan muncul white collar crime.
Teori tentang daerah kumuh yang cenderung melahirkan kejahatan kekerasan, terbukti di daerah-daerah kumuh Ujung Pandang dengan maraknya jenis kejahatan kekerasan dalam wujud tawuran, di samping jenis-jenis kejahatan lain yang meskipun memiliki kasamaan dengan tawuran, tetapi sebagai delik adalah berdiri sendiri sebagai penganiayaan dan pembunuhan.
Tingginya kecenderungan kriminalitas di kalangan orang tak berduit di perkotaan, apalagi yang menjadi penghuni daerah-daerah kumuh, bukan sekedar sebagai kebutuhan langsung untuk menyambung hidup, misalnya terpaksa merampok dan menganiaya atau membunuh korban, sekadar agar dapat makan dan minum. Kriminalitas perkotaan juga di sebabkan oleh berbagai faktor psikologis sebagai akibat kemiskinan yang menyengsarakan.
Oscar Lewis (Parsudi Suparlan (ed), 1995 : 11) yang menggunakan istilah “kebudayaan kemiskinan” menuliskan bahwa ciri-ciri golongan miskin di perkotaan adalah :
“Mereka yang berkebudayaan kemiskinan berorientasi pada kejadian-kejadian dalam batas-batas propinsi dan lokal serta tidak mempunyai kasadaran sejarah. Mereka hanya kesulitan-kesulitan, kondisi setempat, lingkungan tetangga dan cara hidup mereka sendiri saja. Biasanya mereka tidak mempunyai pengetahuan, pandangan dan ideologi  untuk melihat persamaan maslah-masalah yang mereka hadapi dan yang dihadapi oleh golongan yang sama dengan mereka di bagian-bagian lain dari dunia ini. Mereka tidak mempunyai kesadaran kelas meskipun mereka itu sangat sensitif terhadap perbedaan-perbedaan status”.
Ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh Oscar Lewis di atas, jelas sangat mempengaruhi kecenderungan golongan miskin ini untuk melakukan kejahatan, termasuk kejahatan kekerasan, mengingat ketiadaan informasi dan pengetahuan mereka tentang kemungkinan mereka tertangkap oleh pihak yang berwajib jika melakukan kejahatan, berapa berat sangsi pidana yang bakal mereka terima di pengadilan, dan akibat-akibatnya.
F.   Teori-teori Perubahan
Suatu kaidah sosial yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan warga masyarakat, jelas akan sulit untuk mendapatkan ketaatan dari warga masyarakat tersebut. Perubahan sosial senantiasa mengubah pula kebutuhan warga masyarakat, senantiasa mengubah pula nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, mengubah sitem pembagian kekuasaan, mengubah stuktur ekonomi dan sosial, mengubah statifikasi sosial. Keseluruhan perubahan tersebut mau tidak mau merupakan panggilan agar hukum melakukan campur tangan di dalamnya.
Proses hukum yang berlangsung di dalam suatu jaringan atau sistem kemasyarakatan, mengandung arti bahwa hukum hanya mampu dimengerti dengan jalan memahami dulu sistem kemasyarakatan dan bahwa hukum meerupakan suatu proses. Hukum bertujuan untuk mewngkoordinasi aktivitas-aktivitas warga masyarakat di mana aktivitas-aktivitas itu senantiasa berubah sesuai dengan perubahan masyarakatnya. Sebagai contoh, beberapa abad silam aktvitas penduduk pedesaan melakukan pnebangan pohon di hutan-hutan belumlah membutuhkan perhatian khusus dari hukum, karena kepentingan warga masyarakat belum terusik atau terganggu. Tetap kini, penebangan pohon di hutan-hutan yang dilakukan secara besar-besaran sudah langsung mengancam kepentingan warga masyarakat, dan karena itu hukum merasa berkewajiban turut campur secara lebih serius dan langsung dalam wujud aturan-aturan hukum lingkungan.
Contoh di atas dimaksudkan untuk untuk lebih menunjukkan bahwa perubahan apapun yang terjadi di dalam dimasyarakat akan berakibat pula terhadap hukum yang diberlakukan terhadap masyarakat tersebut.
Efektif atau tidaknya aturan hukum sangat bergantung pula pada mampu atau tidaknya aturan hukum itu menyesuaikan diri terhadap perubahan masyarakat. Tetapi jika hukum tidak mampu lagi menyesuaikan diri menyesuaikan diri dengan perubahan yang telah terjadi di dalam masyarakat, maka akan berlakulah pameo hukum : het recht hink achter de feiten aan (hukum senantiasa terseok-seok mengikuti seyogianya diaturnya).
Huntington Cairos telah mengemukakan bahwa :
 “Tidak mungkin untuk mengetahui bagaimana hukum beroperasi tanpa mengetahui secara luas faktor-faktor yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam masyarakat dan faktor-faktor yang mengusai perkembangan”.
Apa yang dikemukakan oleh Huntington Cairos di atas menunjukkan betapa pentingnya untuk mengkaji bagaimana keterkaitan antara perubahan hukum dan perubahan masyarakat.
Berbagai perubahan pada dasarnya dapat dijelaskan dengan teori-teori perubahan yang telah menjadi konsep pandangan berbagai pakar sosiologi dan hukum. Seperti yang dikemukakan oleh Earl Renner :
“Salah satu tugas sosiologi hukum adalah untuk menjelajahi kekuatan-kekuatan sosial yang akan menjelaskan terbentuknya kaidah-kaidah hukum dan pranata-pranata serta perubahan di dalam hukum positif”.
Dalam pembahasan ini akan membedakan teori-teori tentang perubahan hukum dan perubahan masyarakat menjadi dua kelompok. Pertama yang menganggap hukum yang mengikuti perubahan masyarakat, dan yang kedua masyarakat yang mengikuti perubahan hukum atau perubahan yang dikehendaki oleh hukum.
Tetapi sebelumnya kita perlu mengetahui defenisi perubahan hukum dan defenisi perubahan sosial.
Jika kita menyebutkan perubahan hukum, maka yang berubah adalah salah satu atau lebih dari unsur yang sangat mendasar dari suatu sistem hukum, yaitu :
a)   substansi hukumnya mencakup aturan-aturan hukum, kaidah-kaidah hukum dan asas-asas hukum;
b)   struktur hukumnya mencakup pranata-pranata hukum serta pengorganisasiannya;
c)   kultur hukumnya mencakup pola pikir dan perilalku para aktor hukumnya.
Sedangkan definisi perubahan sosial antara lain dikemukakan oleh T.B. Bottomore (1972:297) bahwa perubahan sosial adalah :
“ ..a change in social structure (including here changes in the size of society), or in particular social institution, or in the relationships between institutions”.
Perubahan sosial itu dapat mencakup :
a)   perubahan nilai-nilai sosial;
b)   perubahan norma-norma sosial;
c)   perubahan pola-pola perilaku;
d)  perubahan organisasi sosial;
e)    perubahan susunan lembaga kemasyarakatan;
f)    perubahan lapisan-lapisan dalam masyarakat;
g)  perubahan kekuasaan dan wewenang;
h)   perubahan interaksi sosial dll.
Menurut Soerjono Soekanto (1981 : 25) dibedakan dua jenis penyesuaian yang penting diketahui dalam rangka pembahasan tentang perubahan sosial, yaitu :
a)   Penyesuaian diri lembaga-lembaga sosial pada kondisi –kondisi yang sedang mengalami perubahan;
b)   Penyesuaian pada orang-orang secara individual yang berusaha untuk menyesuaikan dirinya pada lembaga-lembaga sosial yang telah diubah atau diganti, agar yang bersangkutan terhindar dari disorganisasi kejiwaan.
Proses perubahan itu bersumber dari penyebaran ide-ide baru atau difusi, dan selanjutnya terjadi tiga tahap :
1.    awareness : Seseorang mulai menyadari kehadiran ide-ide baru.
2.   trial          : Ia memutuskan untuk mencoba menggunakan ide-ide baru tersebut.
3.   adoptions : Jika ia akhirnya memutuskan untuk menggunakan ide-ide baru tersebut.
Setiap orang tidak sama kualitas kemampuannya menerima dan menggunakan sesuatu yang baru. Ada orang yang cepat terpengaruh menggunakan ide atau barang baru, tetapi ada pula yang sebaliknya.
Menurut Soerjono Soekanto (1981 : 26-27) :
“..Unsur-unsur yang cenderung untuk lebih mudah diadopsi adalah yang metodenya jelas-jelas lebih baik dan lebih menguntungkan orang yang mengadopsinya. Kecuali itu, yang lebih mudah diadopsi adalah unsur-unsur yang serasi dengan norma-norma serta nilai-nilai yang berlaku, dan yang sifatnya lebih sederhana maupun dapat dicoba secara berangsur-angsur. ide-ide baru juga lebih mudah diterima, apabila lebih mudah dimengerti melalui komunikasi yang sederhana. Mereka yang dapat digolongkan ke dalam kategori early adorters pada umumnya termasuk golongan muda yang secara relatif statusnya tidak rendah, sifatnya tidak terlalu kaku dan mempunyai rasionalitas yang tinggi. Mereka mempunyai hubungan langsung dengan innovators dan pada umumnya lebih mempergunakan sumber-sumber informasi yang impersonal. Di dalam hubungan ini, para mahasiswa umumnya dapat digolongkan ke dalam early adorters.
1.    Hukum Menyesuaikan Diri dengan Perubahan Masyarakat
Mengapa hukum dituntut mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan masyarakat, tidak lain karena fungsi hukum untuk melindungi kepentingan warga masyarakat. Hukum berfungsi untuk mengatasi konflik kepentingan yang mungkin timbul diantara warga masyarakat. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo (1982 : 24)
“...betapa hukum itu ada dalam masyarakat untuk keperluan melayani masyarakatnya. Karena ia melayani masyarakatnya, maka ia sedikit banyak juga didikte dan dibatasi  oleh kemungkinan-kemungkinan yang bisa disediakan oleh masyarakatnya. Dalam keadaan yang demikian ini maka apa yang bisa dilakukan hukum turut ditentukan oleh sumber-sumber daya yang ada dan tersedia dalam masyarakatnya”.
Persoalan penyesuaian hukum terhadap perubahan yang dalam masyarakat, terutama yang dimaksud adalah hukum tertulis atau perundang-undangan (dalam arti luas). Hal ini sehubungan dengan kelemahan perundangan-undangan seperti statis, kaku, kurang jelas, tidak lengkap dan tidak tuntas.
Pandangan seperti itu antara lain tersirat dalam apa yang dikemukakan oleh Watson berikut ini.
“Pertumbuhan dan evolusi hukum secara luas ditentukan oleh suatu tradisi hukum yang otonom yang ada dan beroperasi di luar ruang lingkup kebutuhan sosial”.
Pandangan Watson ini memang agak berbeda dengan pandangan sosiologi, karena bagi Watson perubahan hukum didominasi justru oleh tradisi hukum sendiri yang sifatnya otonom.
Tetapi kemudian Watson juga mengakui pengaruh faktor nonhukum terhadap perubahan hukum, seperti yang lebih lanjut dikemukakannya :
“Legal development is determined by their culture; and social economic, and political factors impinge on legal development only through their conciousness”.
Jadi Watson menegaskan bahwa perkembangan hukum ditentukan oleh kultur mereka sendiri. Siapa mereka ini? Mereka disini adalah para legislator, pengacara dan hakim. Faktor-faktor sosial ekonomi dan politik, hanya berpengaruh terhadap perkembangan hukum melalui kesadaran mereka.
Oleh karena itu pula Watson melihat perkembangan dan perubahan hukum sekedar hanya mengikuti kepentingan the ruling class seperti yang dituliskannya :
“Hukum tidak mendahului kepentingan-kepentingan ‘the ruling class’, malahan hukum merupakan percerminan kultur dari para elit hukum”.
Jadi perubahan hukum memang senantiasa dirasakan perlu dimulai sejak adanya kesenjangan antara keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa, serta hubungan-hubungan dalam masyarakat dengan hukum yang mengaturnya.
Bagaimanapun kaidah hukum tidak mungkin kita lepaskan dari hal-hal yang seyogiahnya diaturnya, sehingga ketika hal-hal yang seyogiahnya diaturnya tadi telah berubah sedemikan rupa, tentu saja dituntut perubahan hukum untuk menyesuaikan diri agar hukum masih efektif dalam pengaturannya.
Di sini yang ditekankan adalah hukum senantiasa menunggu terjadinya perubahan kebutuhan masyarakatnya, barulah kemudian juga ikut berubah demi menyesuaikan diri dengan perubahan kebutuhan masyarakatnya itu.
Suatu bukti adanya perubahan itu, adalah semakin banyaknya arus perundang-undangan yang mengalihkan barang milik menjadi barang umum. Dengan demikian makna abstrak dari hak milik yang sementara itu dirumuskannya tetap saja telah berubah isinya diakibatkan bergesernya hubungan-hubungan yang diatur oleh kaidah itu menjadi menjadi bersifat publik. Ini dituliskan oleh Renner (1969 : 35-36) bahwa :
“We see that the right of ownership thus asumes a new social fondation. Without any change is the norm, below the threehold of colective consciousness, a de facto right is added to the personal absolute domination over coporeal thing. this right is not based upon a special legal provision. It is the power to control, the power to issue commands and the enforce them... Thus the institution of property leads automatically to an organizstion similar to the state”.
Menjawab pertanyaan tentang kapan saatnya untuk melakukan perubahan hukum dalam rangka menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat, maka Grad (1968 : 480-485) menyatakan bahwa tidak mudah untuk menetapkan kapan saatnya tiba bagi hukum untuk mengatur, sebab pada suatu waktu mungkin oleh suatu kelompok dalam masyarakat sesuatu hal yang dirasakan sebagai suatu problem yang membutuhkan pemecahan, tetapi belum tentu kelompok lain merasakan hal yang sama. Dalam kaitan ini dibutukan penguasaan yang lebih tentang tingkat kematangan kelompok.
Bagi Achmad Ali, perubahan hukum untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan masyarakat yang telah terjadi terlebih dulu, di masa modern dan era globalisasi ini membutuhkan proses perubahan yang lebih cepat jika dibanding dengan perubahan hukum di zaman dulu.
Sebagai contoh, kita saksikan sendiri betapa cepatnya perubahan yang terjadi di sektor teknologi komunikasi dewasa ini. Hampir setiap bulan terjadi pembaharuan hasil teknologi komputer misalnya, mulai dari perubahan kecepatan prosesnya, perubahan muatan kapasitas hard-disknya, dan sebagainya. Dan kalau perubahan drastis itu sudah berkaitan dengan hukum, misalnya terjadi kejahatan komputer, mau tak mau hukum khususnya perundang-undangan harus mampu menyesuaikan diri sesegera mungkin agar ia tetap dapat memecahkan problem hukum tadi, yang pada akhirnya menentukan ditaati tidaknya ketentuan tersebut.
Suatu aturan hukum yang sudah ketinggalan dari kebutuhan masyarakatnya, mustahil dapat mewujudkan tujuan yang ingin dicapai hukum,seperti keadilan dan kemanfaatan. Bukankah ada pameo hukum Latin yang bunyinya :
Aequum et bonum est lex legum;
Yang berarti, sesuatu yang tidak adil dan baik adalah hukum dari hukum.
2.   Hukum menjadi alat untuk melakukan perubahan masyarakat
Pandangan bahwa hukum tidak sekadar pasif menunggu adanya perubahan, tetapi aktif menciptakan perubahan. Dimana peran hukum dalam membangun adalah justru untuk mendirikan infrastruktur bagi tercapainya perubahan politik, perubahan ekonomi dan perubahan sosial di dalam masyarakat. Hal ini terkandung dalam Samuel Amoo bahwa :
“the role of law in development is to establish the infrastruktur for realizing political, economic, and social change in society”.
Lon L. Fuller  yang terkenal itupun mengharapkan peran aktif hukum, terlihat dari kalimatnya yang sering dikutip oleh pakar-pakar lain bahwa :
“Secara tegas saya melihat hukum sebagai suatu usaha dengan maksud tertentu, yang keberhasilannya tergantung pada energi, wawasan, inteligensia dan kesadaran dari para pelaku hukum”
Hal ini selaras juga dengan apa yang sangat terkenal pula dari Eugen Ehrlich:
“Baik kini dan dimasa kapanpun, pusat kegiatan dari perkembangan hukum bukanlah dari perundang-undangan, bukan dalam ilmu hukum, juga bukan dalam putusan pengadilan, tetapi dalam masyarakat sendiri”.
Fungsi hukum untuk menggerakkan perubahan masyarakat yang terencana lazim kita namakan fungsi hukum sebagai a tool of social engineering.
Yang mula-mula memperkenalkan konsep hukum sebagai alat rekayasa sosial itu adalah Roscoe Pound, pakar dari Harvard University U.S.A.
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakatnya, dalam arti bahwa hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change. Agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan di dalam melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam tekanan untuk mengadakan perubahan, bahkan mungkin menyebabkan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan, selali berada dibawah pengendalian serta perngawasan pelopor perubahan tersebut. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, dinamakan social engineering atau social planning.
Sebagaimana disinggung di atas, hukum mungkin mempunyai pengaruh langsung atau pengaruh tidak langsung di dalam mendorong terjadinya perubahan sosial. Misalnya suatu peraturan yang menentukan sistem pendidikan tertentu bagi warga negara mempunyai pengaruh secara tidak langsung yang sangat penting bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial. Seperti di Indonesia, sejak Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945, semua Sekolah Dasar harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
Suatu contoh lain adalah tentang jumlah universitas dan mahasiswa di Indonesia. Sebelum UU No. 22/1961 ditetapkan terdapat 14 universitas negeri dengan 65.000 mahasiswa. Terlepas dari segi baik-buruk, sejak undang-undang tersebut ditetapkan, jumlah universitas negeri naik sampai menjadi 34 buah dengan 158.000 mahasiswa. Contoh ini diberikan untuk sekadar membuktikan bahwa suatu keputusan hukum dapat memperbanyak jumlah lembaga-lembaga pendidikan (misalnya universitas) dan selanjutnya lembaga-lembaga tersebut merupakan alat sosialisasi, akulturasi, perubahan, mobilitas atau gerak sosial, dan tempat pendidikan bagi golongan elit yang potensiil. Lembaga-lembaga pendidikan memperkenalkan ide-ide baru lembaga-lembaga tersebut dapat menarik dari orang-orang dari latar belakang etnik yang berbeda. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut (yang kebanyakan bertempat tinggal di daerah-daerah perkotaan) yang menarik warga-warga daerah pedesaan, dan sampai batas-batas tertentu lembaga-lembaga tadi mendidikgolongan elit masa depan.
Di dalam berbagai hal hukum mempunyai pengaruh langsung terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan yang artinya adalah bahwa terdapat hubungan yang langsung antara hukum dengan perubahan-perubahan sosial. Suatu kaidah hukum yang menetapkan bahawa janda dan anak-anak tanpa memperhatikan jenisnya dapat menjadi ahli waris mempunyai pengaruh langsung terhadap terjadinya perubahan-perubahan sosial, sebab tujuan utamanya adalah untuk mengubah pola-pola perilaku dan hubungan-hubungan antara warga masyarakat.
Perlu diperhatikan bahwa perbedaan antara pengaruh langsung dengan pengaruh tidak langsung dari hukum sering kali tidak dapat ditetapkan secara mutlak atau kadang-kadang dasar perbedaannya akan goyah. Sebab, dalam berbagai hal pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung saling mengisi. Akan tetapi keuntungan hukum bertujuan untuk memelihara tata tertib dalam masyarakat tidak perlu bersifat koservatif.
Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-perubahan yang dikehendaki atau perubahan yang direncanakan (intended change atau planed change). Dengan perubahan-perubahan yang dikehendaki dan direncanakan dimaksudkan sebagai suatu perubahan yang dikehendaki dan direncakan oleh warga masyarakat yang berperan sebagai pelopor masyarakat. Dan dalam masyarakat yang sudah kompleks di mana biokrasi memegang peranan penting tindakan-tindakan sosial, mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya. Dalam hal ini maka hukum dapat menjadi alat ampuh untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial, walaupun secara tidak langsung. Oleh sebab itu, apabila pemerintah ingin membentuk badan-badan yang berfungsi untuk mengubah masyarakat (secara terencana), maka hukum diperlukan untuk membentuk badan tadi serta untuk menentukan dan membatasi kekuasaannya. Dalam hal ini kaidah hukum mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membentuk badan-badan yang secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan-perkembangan bidang-bidang sosial, ekonomi dan politik.
 I.          Perubahan Hukum menurut Max Weber
Max Weber yang dipengaruhi oleh pemikirannya yang berdasarkan pengamalan dan pengamatannya di Jerman, menyakini bahwa perkembangan hukum senantiasa selaras dengan perkembangan masyarakatnya.
Max Weber melihat hukum dan masyarakat berkembang dari masyarakat dan hukum tradisional, ke kharismatik hingga pada tahap terakhir yang rasional.
Oleh karena itu, Max Weber pertama-tama memandang taraf  awal adalah masyarakat yang bentuk legitimasinya masih tradisional. Dalam masyarakat tipe ini, bentuk administrasinya bersifat patromanial. Ketaatan masyarakatnya adalah ketaatan tradisional sifatnya yang berwujud duty to individual encumbent. Bentuk proses peradilannya adalah empirik, substantif dan personal (khadi). Bentuk keadilannya pun empirik. Tipe pemikiran hukumnya formal irradionality dan substantive rationality.
Pada tahap kedua, yaitu masyarakat tiba pada tahap yang dinamakan sebagai kharismatik yang didominasi oleh legitimasi charismatic Authority dan  personal devotion. Dalam masyarakat kharismatik ini tidak ada administrasi dan hanya ada routinisation of charisma.  Ketaatannya bersifat response to social psychological charateristics of individual.  Bentuk keadilannya pun adalah keadilan kharismatik, yang berdasarkan tipe pemikiran hukum yang formal irrationality dan sustantive irrationality.
Kemudian tahap terakhir dari perkembangan masyarakat dan hukum dalam pandangan Max Weber adalah tipe masyarakat yang rational legal, dengan bentuk legitimasi yang mendominasinya adalah legitimasi yang juga rasional-legal di mana authority derived from system of law, rationally and consciously enacted.
Menurut Max Weber perkembangan tersebut berawal pada bentuk-bentuk pemerintah tradisional yaitu yang patrimonial (berdasarkan pembapakan) dan yang feodalistis. Bentuk-bentuk tradisional tersebut berkembang menjadi monarkhi absolut dan lembaga-lembaga perwakilan. Proses tersebut menunjukkan semakin meningkatnya monopoli pemerintah untk menggunakan kekuasaan untuk memaksa dan yang diikuti oleh perkembangan sistem hukum yang rasional serta yang mencapai puncaknya pada konsep tertib hukum modern (Bendix, 1962 : 390).
II.          Teori-teori Perubahan dari Beberapa Pakar (Achmad Ali, 1988:39-44)
1.    Teori Perubahan Sosial dari William F. Ogburn
Ogburn menekankan perubahan sosial pada faktor kondisi-kondisi teknologi dan ekonomis. Menurut kacamata Ogburn, kondisi-kondisi seperti tersebutlah yang dianggapnya sebagai dasar dari organisasi-organisasi sosial maupun nilai-nilai. Karena itu nilai-nilai yang merupakan hasil situasi-situasi teknologis dan ekonomis, merupakan pula titik tolak yang harus dipelajari terhadap terjadinya perubahan-perubahan sosial.
Ogburn membedakan antara kebudayaan materiil dengan kebudayaan immateriil. Yang termasuk kebudayaan materiil adalah lembaga-lembaga sosial,nilai-nilai dan norma-norma. Ogburn berpendapat bahwa perubahan pada kebudayaan materiil cenderung terjadi lebih dulu.
Dalam proses penyesuaian kebudayaan immateriil dengan kebudayaan materiil mungkin terjadi yang disebutnya dengan istilah cultural lag (kesenjangan kebudayaan). Akhir teori perubahan dari Ogburn lebih dikenal dengan Teori Cultural Lag.
Sebagai contoh dari cultural lag adalah ketika tingkat kebudayaan masyarakat pedesaan X masih dalam taraf keterbelakangan, lalu masuk kebudayaan materiil yang lebih maju yaitu kulkas. Apa yang terjadi akibat cultural lag ini? Kulkas-kulkas yang mereka beli mereka jadikan “lemari pakaian”.
2.   Teori Hukum Perkembangan dari Herbert Spencer
Spencer melihat bahwa dalam keadaan apapun perkembangan selalu berlangsung secara evolusi dari yang sederhana ke arah sesuatu yang kompleks, melalui berbagai tahap differensiasi yang berkesinambungan. Mulai dari perkembangan kosmis yang dapat ditelusuri hingga pada hasil peradaban terakhir. Di dalam kesemuanya itu terdapat proses trasformasi dari yang homogen ke yang heterogen, yang secara esensial memuat perkembangan. Perkembangan dari taraf sederhana menjadi taraf yang mengenal pembagian kerja.
3.   Teori Pertambahan Penduduk dari August Comte
Comte mengistimewakan pengaruh pertambahan penduduk secara alamiah terhadap perubahan sosial. Meskipun Comte juga mengakui pengaruh faktor-faktor lain, tetapi yang utama menurut Comte adalah pertambahan penduduk yang dilihatnya selalu merupakan gejala yang konkrit dari meningkatnya perbaikan kondisi manusia.
Comte menegaskan bahwa pusat perhatiannya bukan pada pertambahan penduduknya, melainkan pada konsentrasinya di suatu tempat tertentu, yang kemudian dapat diterapkan pada pemusatan-pemusatan manusia di manapun pada masa apapun dalam perkembangan umat manusia.
Auguste Comte membagi tahap perkembangan jiwa dan pikiran manusia atas :
ü tahap teologis primitif;
ü tahap metafisik transisional;
ü tahap positif yang terakhir.
Ketiga tahap ini merupakan dasar pemikirannya tentang evolusi sosial.
Comte yakin bahwa dengan perkembangan yang lebih sempurna dari ilmu dan pengetahuan manusia akan menyebabkan manusia mampu mengatasi peledakan pertumbuhan kependudukan. Buku Comte yang terkenal adalah the positive Philosophy.
4.   Teori Perubahan Hukum dan Masyarakat dari Emile Durkheim
Emile Durkheim dalam karyanya De la division dan dalam Les Regles, memberi perhatian besar pada persoalan pembagian kerja dalam perubahan sosial. Durkheim melihat bahwa peningkatan jumlah penduduk harus serentak dengan peningkatan kepadatan materi, derajat konsentrasi penduduk pada wilayah tertentu dan terutama kapadatan moral atau kepadatan dinamis.
Yang dimaksudkan Durkheim di sini adalah bahwa jumlah individu-individu yanng memelihara hubungan satu sama lain bukan saja yang bersifat lugas, melainkan juga yang bersifat moral, yaitu menjalani kehidupan bersama. Kepadatan itu ditingkatkan itu ditingkatkan oleh konsentrasi penduduk dalam wilayah-wilayah tertentu, oleh pembentukan kota-kota dan oleh peningkatan jumlah dan kesempatan sarana-sarana komunikasi.
Dan akhirnya Durkheim melihat bahwa pertumbuhan volume dan kepadatan, memaksa adanya pembagian kerja. Ini karena perjuangan hidup dipertajam olehnya. Konflik-konflik sosial hanya mungkin dielakkan, paling tidak dikurangi jika orang-orang melakukan spesialisasi.
Jadi Durkheim melihat peningkatan pembagian sebagai “daya penggerak kemajuan”, dan yang semuanya proses mekanis yang berlangsung terlepas dari kemauan individu.
Lebih lanjut Emile Durkheim mengemukakan bahwa apa saja yang daat dilakukan pada setiap individu dalam masyarakat adalah tergantung dari social order. Jadi, kebebasan ini tidak ada dalam individu, tetapi kebebasan ini berada dalam kerangka masyarakat.
jika dilihat dari teori Emile maka bentuk masyarakat Indonesialah yang justru benar, dan justru bentuk masyarakat individualistis ala barat yang salah.
Kritik terhadap teori Emile Durkheim adalah bahwa di dalam kenyataannya tidak benar pada masyarakat sederhana jenis hukumnya represif, tetapi justru masyarakat sederhana didominasi oleh hukum yang restitutif, karena mereka mengutamakan keharmonisan.
5.   Teori Perubahan Sosial dari Ferdinand Tonnies
Tonnies melihat adanya dua tahap perkembangan masyarakat yaitu dari masyarakat yang gemeinschaft menuju pada masyarakat yang gesellschaft.
Masyarakat tipe gemeinschaft adalah prototipe yang sifatnya alamiahdan didasarkan pada hubungan batiniah, sedangkan tipe gesellschaft adalah didasarkan pada hubungan karena kepentingan yang rasional dan sifatnya antifisial. Gesellschaft didasarkan pada ikatan lahiriah yang sifatnya pokok untuk masa yang pendek.
6.   Teori Perubahan Masyarakat dan Hukum dari H.S. Mane
Mane mengikuti ajaran Herbert Spencer yang terutama menghubungkan antara perkembangan masyarakat dengan perubahan hukum. Mane melihat bahwa pola perkembangan adalah dari pola status kepola kontrak.
KESIMPULAN
Diatas telah dibicarakan dalam garis besarnya tentang hubungan antara perubahan-perubahan sosial dengan hukum. Perubahan-perubahan sosial di satu pihak menonjolkan segi dinamika dari suatu masyarakat yang dapat dikatakan merupakan ciri yang tetap dari setiap masyarakat. Di lain pihak hukum sebagai gejala sosial merupakan suatu sarana untuk mempertahankan serta menjaga adanya ketertiban. Khusus bagi negara-negara yang lahir melalui suatu perjuangan kemerdekaan atau revolusi, hukum seringkali dianggap sebagai lambang status quo. Namun negara-negara yang muda yang disebut di mana Indonesia merupakan salah satu contoh, pada dewasa ini sedang melakukan proses pembangunan yang mempunyai ciri berupa suatu proses perubahan. Perubahan tidak selamanya menghasilkan.

0 komentar:

Posting Komentar