PERUBAHAN HUKUM & PERUBAHAN SOSIAL
Oleh
KARTINI
KADIR
ABSTRACT
Achmad
Ali, who as Dean of the Faculty of Law University of Hasanuddin Period I
1995-1998, Dean II, 1998-2001, after helping Dean III (two periods) and assist
the Dean II (3 / 4 period). He has written a book that became my guide,
entitled "Exploring the Empirical Assessment Against the Law". There
are several reasons why Achmad Ali chose that title. First to equate with the
previous titles. Second: why he did not expressly make the title Review of
Sociology of Law, because according to the estimate, due to the tremendous
development of the sociology of law (first class) at this time, in the next few
years the sociology of law (first class) will develop into many new sub which
is a field the new force-field of sociology who may use a different name.
What
is social change that? The term "change" in the sense of the
everyday, often loosely defined as something that exists but did not previously
exist, or the loss or elimination of something, although previously there. But
not all change is social change. In the most concrete sense, social change
means that most people involved in group activities and relationships of
different groups with what they have done or what his parents had done before.
Changing relationships and behaviors are also changing at the same time.
Individuals are faced with new situations which they must respond. These
situations reflect certain factors such as technology, new ways to earn income,
domicile change, and new innovations, new ideas and new values. So that means a restructuring
of social change in fundamental ways in which people in the community involved
with each other concerning government, economics, education, religion, family
life, recreation, languages, and other activities.
Changes
in social conditions, technology, knowledge, values, and attitudes, therefore, can
lead to changes in the law. In this case, the law is reactive and follow social
change. Note however, that the change of law is one of many responses to social
change. But the change of law is important, because it represents the legal
authority of the state and the power of sanctions. The new law in response to
social problems or issues of new technologies may be able to magnify the
problem - or it may be able to solve problems and help resolve the issue.
Often, the legal response to social change, which is definitely over a period
of time (time lag), will lead to new social changes.
PENDAHULUAN
Achmad Ali yang selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Periode I 1995-1998, Dekan II 1998-2001, setelah membantu Dekan III
(dua periode) dan membantu Dekan II (3/4 periode). Beliau telah menulis buku
yang menjadi pedoman saya yang berjudul “Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap
Hukum”. Ada beberapa alasan mengapa Achmad Ali memilih judul tersebut. Pertama
untuk menyamakan dengan judul buku sebelumnya. Kedua : mengapa beliau tidak
tegas membuat judul Kajian Sosiologi Hukum, karena menurut estimasinya, akibat
perkembangan yang sangat pesat dari sosiologi hukum (angkatan pertama) saat
ini, dalam beberapa tahun mendatang sosiologi hukum (angkatan pertama) akan
berkembang menjadi banyak sub baru yang merupakan bidang-bidang sosiologi
angkatan baru yang mungkin menggunakan nama lain.
Di dalam buku pegangan saya akan ada beberapa bab yaitu
diantaranya Kajian empiris tentang hukum; Hukum tidak otonom; Sosiologi hukum
Max Weber; Tipe-tipe masyarakat; Efektifitas hukum; Perubahan hukum dan
perubahan sosial; Pengaruh timbal balik antara hukum dan faktor non hukum; dan
Profesi hukum dan aktor hukum. Sedangkan yang saya akan bahas yaitu bab 6
Perubahan hukum dan perubahan sosial yang berada pada halaman 239-270. Dalam
bab ini ada beberapa poin yang akan dibahas yaitu Hubungan antara
perubahan-perubahan sosial dengan hukum; Pengaruh perubahan di bidang teknologi terhadap hukum;
Hukum sebagai sarana pengatur perilaku; Perubahan Sosial, Khususnya Urbanisasi
dan Dampak Negatifnya; dan Teori-teori perubahan.
Pembahasan yang akan saya bawakan mungkin agak menarik
bagi saya karena dimana di dalam pembahasan ini ada beberapa pakar yang saling
berbeda pendapat mengenai perubahan yang mempengaruhi satu sama lain.
Di dalam Perubahan hukum dan perubahan sosial ada
pendapat yang mengemukakan bahwa hukum akan melakukan transformasi jika warga
masyarakatnya sudah melakukan perubahan terlebih dahulu. Dan adapun yang
berpendapat bahwa hukum juga bersifat andil di dalam melakukan perubahannya
karena hukum mungkin mempunyai pengaruh langsung atau pengaruh tidak langsung
di dalam mendorong terjadinya perubahan sosial. Misalnya suatu peraturan yang
menentukan sistem pendidikan tertentu bagi warga negara mempunyai pengaruh
secara tidak langsung yang sangat penting bagi terjadinya perubahan-perubahan
sosial.
Keadaan-keadaan yang positif, apalagi bila proses tersebut
tidak berjalan secara teratur. Hukum berperan untuk menjamin bahwa
perubahan-perubahan tadi terjadi dengan teratur dan tertib. Walaupun demikian,
sebagai alat untuk mengubah masyarakat dan menjamin ketertiban proses perubahan
tersebut, maka hukum mempunyai batas-batas kemampuan terkait oleh
kondisi-kondisi tertentu. Apabila batas-batas dan kondisi-kondisi tersebut
diperhatikan, dimengerti dan diterapkan maka sebagai alat mempunyai
harapan-harapan yang positif dalam mengubah masyarakat serta mendukung
pembangunan.
PEMBAHASAN
A.
Pengantar
Salah satu kajian sosiologi hukum
adalah bahasan tentang perubahan hukum dan perubahan masyarakat.
Untuk mengembangkan pendekatan ini,
pembahasan ini memfokuskan diri pada kajian sosiologis, namun tidak ada suatu
disiplin tunggal dapat mengklaim memiliki seluruh teori dan metode riset untuk
melakukan suatu analisis krisis terhadap perubahan hukum dan perubahan
masyarakat. Usaha ini harus lebih menggunakan cara pengkombinasian daripada
menggunakan cara pemisahan terhadap topik tersebut.
Untuk mengembangkan pengetahuan tentang
perubahan hukum dan perubahan masyarakat, serta hubungan keduanya; kita harus
pertama-tama mengakui bahwa terdapat cara yang berbeda-beda dimana kita dapat
bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana perubahan hukum
dan perubahan masyarakat terkait satu sama lain.
Di dalam pembahasan ini akan membahas
topik perubahan hukum dan perubahan masyarakat itu dengan mengemukakan
contoh-contoh perubahan diberbagai tempat di dunia ini seperti penuturan Gerald
Turkel berikut.
Di dalam kajian terdapat perubahan hukum
dan perubahan masyaraka, Gerald Turkel (1996:3-5) antara lain mengawali bukunya
dengan mengemukan tentang gerakan populer dalam hubungan kekuasaan politikdan
kekuasaanekonomi yang telah menyapu habis pembagian dan konflik masa lalu.
Seperti yang dikemukakan oleh Flacs, bahwa tatana Perang Dingin telah membentuk
pengendalian dan penggunaan sumber-sumber materiel, organisasi politik dan
ekonomi, serta cara berfikir dari akhir Perang Dunia II di 1945 telah
diruntuhkan. Di dalam kebangkitannya, dunia mengalami epoch-making “(membuka zaman baru) dengan berbagai perubahan. Di
Eropa, di Negara-negara bekas Uni Soviet, di Amerika Latin, dan di Cina terjadi
berbagai perubahan sebagai berikut:
1.
Perubahan dalam kebutuhan dan perjuangan yang beraneka ragam bagi demokrasi
konstitusional;
2.
Perubahan yang berwujud suatu kehidupan yang meteril yang lebih kaya;
3.
Perubahan dalam otonomi nasional;
4.
Perubahan dalam pranata sosial, diantaranya perubahan dalam:
a.
serikat dagang;
b.
asosiasi profesional;
c.
universitas-universitas;
d.
gereja-gereja;
e.
partai-partai politik;
dimana semuanya itu lebih independen
dari pada keadaan sebelumnyayang masih bergantung penuh pada negara. Perubahan
tersebut menentukan sejarah.
Perjuangan ini membawa hasil dalam
bentuk political freedom (kebebasan
politik) dan individual liberty (kekebasan
individual) bagi rakyat di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pada saat yang
sama, sekelompok persoalan muncul kepermukaan, yaitu :
1)
Kesulitan ekonomi (economic hardships);
2)
Konflik-konflik kelas gender;
3)
Dibeberkannya sejarah etnis dan rasa permusuhan nasional.
Jabatan tangan antara menteri Yitzhak
Rabin dari Israel dengan Yasser Arafat, Presiden Organisasi Pembebasan Palestina, menjadi simbol penuh harapan
terhadap perubahan.
Kebencian dan pertumbahan darah di
antara rakyat Negara Bekas Yugoslavia menampakkan kapasitas kebrutalan dan
agresivitas manusia.
Pusat perubahan ini adalah memperbarui
usaha-usaha penggunaan hukum untuk mewujudkan keadilan, demokrasi, dan
masyarakat yang bersemangat ekonomi, dimana di dalamnya terdapat nilai-nilai
yang berjenis-jenis di antara individu-individumaupun kelompok-kelompok; serta
pengakuan terhadap pentingnya kelangsungan hidup dalam perhubungan antara
proses-proses sosial dan proses-proses ekonomi dengan natural world.
Di Eropa Tengah, perubahan yang
berkaitan dengan hukum itu tentang persoalan pembatasan kekuasaan negara dan
tentang mewujudkan persamaan politiktelah dilakuan oleh orang seperti mantan
Presiden Republik Ceko, Vaclav Havel, yang telah menghabiskan usianya selama
bertahun-tahun di penjara sebagai akibat perlawanannya terhadap pemerintah
komunis.
Di Negara-negara bekas Uni Soviet,
usaha untuk membangun negara hukum untuk menggantikan Negara Partai Komunis
pada umumnya telah berhasil. Yang mendasari visi ini adalah usaha untuk
menciptakan sistem hukum yang independendari partai politik dan sumber-sumber
birokrasi kekuasaan.
Di Cina, usaha untuk melakukan
modernisasi dan desentralisasi di bidang ekonnomi, telah membawa pada
kemunculan pranata-pranata hukum seperti pengadilan dan profesi hukum terhadap
berbagai konflik yang berkaitan dengan kontak dan pemilikan. Ini, pada
gilirannya, membuka konflik yang lebih luas tentang pranata politik demokratis.
Di Afrika Selatan, Nelsen Mandela,
Mantan pemimpin Kongres Nasional Afrika dan presiden pertama kulit hitam
terpilih, telah membongkar rasialis melalui pengkombinasian antara gerakan
politik, tekanan perekonomian dan negosiasi dengan mantan presiden Botha dan
Partai Nasional. Hal ini sebagian telah dilakukan dengan mendirikan dasar
konstitusional bagi persamaan hak untuk seluruh warganegara di bawah resmi suatu
hukum.
Di Amerika Latin, pemilihan
pemerintahsecara luas telah munculyang menjanjikan pembatasan kekuasaan
terhadap golongan oligarkie kaya dan juga pembatasan terhadap golongan militer,
dan menyelesaikan konflik-konflik melalui hukum dan pranata-pranata hukum.
Dari contoh-contoh di atas, terbukti
betapa besarnya hubungan timbal-balik antara perubahan hukum dan perubahan
masyarakatnya.
Perubahan di bidang teknologi misalnya,
sangat besar pengaruhnya terhadap hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan
hukum. Pengaruh teknologi penyiaran televisi sebagai contoh, sangat
mempengaruhi meningkatnya kriminalitas di kota-kota tertentu. Dan tentu saja
pengaruhi serupa juga di timbulkan oleh penggunaan teknologi internet yang
dewasa ini semakin meluas penggunaannya.
Ketika masyarakat berubah secara
drastis dan dinamis, hukum khususnya perundang-undangan cenderung lamban dan
statis di dalam mengejar perubahan tersebut. Tidak heran kalau muncul pameo
hukum yang mengatakan : het recht hink
achter de feiten aan (hukum senantiasa tertatih-tatih mengejar peristiwa
yang seyogianya diaturnya).
B.
Hubungan antara Perubahan-perubahan Sosial dengan Hukum
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi
di dalam suatu masyarakatdapat terjadi oleh bermacam-macam sebab.
Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari masyarakat itu sendiri (sebab-sebab
intern) maupun dari luar masyarakat (sebab-sebab ekstern). Sebagai sebab-sebab
intern antara lain dapat disebutkan, misalnya pertambahan penduduk atau
berkurangnya penduduk; penemuan-penemuan baru; pertentangan (conflict); atau mungkin terjadinya
revolusi. Sebab-sebab ekstern dapat mencakup sebab-sebab yang berasal dari
lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, peperangan dan
seterusnya. Suatu perubahan sosial lebih mudah terjadi apabila suatu masyarakat
sering mengadakan kontak dengan masyarakat lain atau telah mempunyai sistem
pendidikan yang maju. Sistem lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang
heterogen serta ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu, dapat
pula memperlancar terjadinya perubahan-perubahan sosial, sudah tentu da samping
faktor-faktor yang memperlancar proses perubahan-perubahan sosial, dapat juga
diketemukan faktor-faktor yang menghambatnya seperti sikap masyarakat yang
mengagung-agungkan masa lampau (tradisionalisme),
adanya kepenting-kepentingan yang tertanam dengan kuat (vested-interest), prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing,
hambatan-hambatan yang bersifat ideologis, dan seterusnya. Faktor-faktor
tersebut di atas sangat mempengaruhi terjadinya perubahan-perubahan sosial
beserta prosesnya.
Saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan sosial pada
umumnya adalah lembaga kemasyarakatan di bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan,
agama dan seterusnya. lembaga kemasyarakatan merupakan titik tolak namun,
tergantung pada penilaian tertinggi yang diberikan oleh masyarakat terhadap
masing-masing lembaga kemasyarakatan tertentu.
Di dalam proses perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umumnya
dikenal adanya tiga badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan
pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum, dan badan-badan pelaksana hukum.
Adanya badan-badan pembentuk hukum yang khusus, adanya pengadilan yang
menegakkan hukum serta badan-badan pelaksana yang menjalankan hukum, merupakan
ciri-ciri yang terdapat pada negara-negara modern. Pada masyarakat sederhana,
ketiga fungsi tadi mungkin berada di tangan satu badan tertentu atau yang
diseraahkan pada unit-unit terpenting dalam masyarakat seperti keluarga luas.
Akan tetapi, baik pada masyarakat modern maupun sederhana ketiga fungsi
tersebut dijalankan dan merupakan saluran-saluran melalui mana hukum mengalami
perubahan-perubahan.
Di Indonesia, menurut Undang-Undang Dasar 1945, kekuasaan untuk membentuk
dan mengubah Undang-Undang Dasar pada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan
kekuasaan untuk membentuk undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya yang
derajatnya berada dibawah undang-undang, ada ditangan pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat. Kekuasaan kehakiman antara lain mempunyai fungsi untuk
membentuk hukum.
C.
Pengaruh Perubahan Di Bidang Teknologi Terhadap Hukum
Taylor Parsons, sebagai mana diuraikan oleh Satjipto Raharjo (1979 :
153) mengemukakan bahwa :
“...penemuan di bidang teknologi
merupakan penggerak perubahan sosial, sebab penemuan yang demikian itu,
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang berantai sifatnya”.
Namun demikian, perubahan yang
ditimbulkan tidak senantiasa dalam wujud perubahan positif atau yang
bermanfaat, sebab penemuan di bidang teknologi canggih (seperti televisi,
parabola, komputer, kaset, taperecord, faksimile, internet, video, laserdisc,
fotografi dll) serta penggunaannya, secara langsung ataupun tidak langsung
dapat menimbulkan dampak negatif yaitu dapat menjadi faktor yang mendorong
terjadinya kejahatan, kekerasan atau meningkatkan kualitas suatu kejahatan
kekerasan tertentu.
Contoh yang dewasa ini banyak terjadi
adalah banyak kejahatan seksual, termasuk pemerkosaan terjadi karena pelakunya
terangsang setelah menonton iklan erotis dan film-film erotis baik melalui
bioskop, televisi, kaset video, CD-Rom, Laser CD, internet dsb.
Demikian pula film-film yang
menonjolkan kekerasan dan sadisme, baik melalui bioskop dll, mau tak mau
membentuk “budaya kekerasan” dalam jiwa bawah sadar remaja-remaja dan
kanak-kanak yang menontonnya, yang turut mendorong terjadinya tawuran antara
kelompok-kelompok generasi muda.
Selaras dengan apa yang di kemukakan
diatas, Loebby Loqman (Makalah
Penalaran Sosiogi Hukum Tanggal 18-29 September 1995) mengemukakan bahwa :
“Perkembangan iptek ini tentunya
membawa dampak baik positif maupun negatif, serta akan mempengaruhi
perkembangan masyarakat bukan saja di
man penemuan hukum iptek tersebut terjadi akan tetapi sifatnya lebih menyeluruh.
Perkembangan iptek dalam bidang transformasi dan informasi membawa dampak
sedemikian rupa sehingga sulit dibatasi oleh batasan wilayah yang bersifat
konversional. Demikian puka dengan informasi yang selalu berkembang,
pengetahuan atas sesuatu hal tidak saja dimiliki oleh masyarakat tertentu akan
tetapi sudah sedemikian meluas. Nilai dalam suatu masyarakat tertentu akan
terbawa dan berpengaruh pada masyarakat lain yang sebelumnya tidak
didapatinya”.
Akibat pengaruh drastis komunikasi
modern juga mengubah berbagai konsep tradisional tentang nilai dan kaidah yang
tadinya diwariskan secara turun-temurun selama ribuan tahun, tetapi
diberantakkan hanya dalam waktu sekian tahun saja. Hal ini tidak terkecuali
terhadap perspeksi moral mengenai hubungan seksual dan pemerkosaan.
Perspeksi dan nilai tradisional di atas
segala dapat berubah hanya dalam tempo singkat sebagi akibat penggunaan
teknologi modern yang sangat canggih tadi.
Salah satu hal yang juga berubah adalah
modus operandi kejahatan, seperti misalnya penggunaan komputer untuk melakukan
kejahatan korupsi, pencurian dan sebagainya. Pencurian dengan modus operandi
baru tampak pada penggandaan nomor telepon seluler, dimana pulsa si pelaku di
bayarkan oleh orang yang di gandakan.
Yang cukup menarik, adalah bahwa
penemuan-penemuan baru di bidang teknologi, juga dapat menjadi faktor pendorong
meningkatnya kualitas kejahatan kekerasan seperti yang antara lain dikemukakan
oleh Koesparmono Irsan ketika
menjelaskan tentang profesional di kalangan kepolisian (Banurusman, 1995: 8-9)
:
“Profesionalisme berbanding lurus
dengan situasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta situasi dan
tantangan dalam menerapkan hal ini. Keduanya selalu berubah dan berkembang
sebagaimana ilustrasi berikut ini: Polisi sebelum zamannya Alfonso Berthilon
datang ke suatu TKP (Tempat Kejadian Perkara) pencurian, tidak mencari sidik
jari. Ia dapat di katakan sudah profesional karena pada saat itubelum ada
teknik identifikasi sidik jari. Ilmu pengetahuan terus berkembang, begitu pula
dengan ilmu penunjang teknis kepolisian. Pada zaman dahulu, untuk menyidik
pembunuhan belum ada teknik fingerprint
identifikasion sehingga para penjahat membuang mayat korban begitu saja.
Setelah polisi mengetahui ilmu sidik jari, para penjahat makin sadis memotong
dan membuang jari-jari tangan korban serta merusak mukanya atau membuatnya
menjadi serpihan-serpihan kecil. Bahkan kadang-kadang di kombinasikan dengan
cara membuangnya pada bak berisi asam pekat atau air raksa. Polisi terus
berlari mengejar dengan menggunakan teknik peta DNA manusia yang diambil dari
sampel serpihan daging manusia ada darah yang ada di TKP. Hal ini di lakukan
karena setiap manusia mempunyai Peta Genetik DNA yang berbeda dengan kombinasi
Odotologi Ilmu Kedokteran untuk mengenali korban dari susunan giginya. Apakah
penjahat berhenti di sini? Ternyata tidak. Di Cengkareng, Jakarta Barat, pernah
terjadi kasus dengan motif penggelapan kendaraan bermotor yang mengakibatkan
seorang pegawai suatu dealer kendaraan di sekap oleh orang yang akan di
tagihnya (pembeli kendaraan) kemudian dimasukkan ke ruang tertutup bersekat
baja untuk di bakar atau di musnahkan mayatnya. Untungnya penyidik masih dapat
mengenali dengan cara mengidentifikasi giginya”.
Banurusman (ibid) melanjutkan bahwa :
“Pernyataan kita adalah bagaimana kalau
penjahat makin canggih lagi? Bila ia berpikir kalau di buang kelaut masih akan
dapat menyulusuri jejaknya kalau atau bila dibakar masih ada abunya, kalau ia
berinovasi lagi dengan menggunakan teknik yang dapat menguapkan mayat korban
sehingga hilang sama sekali jejaknya di udara, dengan teknologi seperti apa
polisi harus mencarinya? Hal ini lain sekali dengan teknologi militer, sewaktu
peralatan masih konvensional belum ada senjata nuklir, terjadi perang global
(perang dunia I dan II). Pada abad ini nuklir merupakan teknlogi canggih atau
teknologi pembunuh massal, apa yang terjadi? Malah perang dunia berakhir karena
masing-masing takut hancur dan yang ada adalah perang lokal kecil-kecilan secara
sporadis, karena itu senjata nuklir disebut sebagai peace keeper. Berpijak dari hal ini, tidak pada tempatnya lagi bagi
menuntut polisi sebagai sosok Superman yang serba. Sedangkan masyarakat tidak
tahu atau pokoknya harus serba bisa”.
Milton Chen (1996:33), salah satu pemikir terbesar dengan wawasan
sangat luas dalam bidang pertelevisian anak-anak, mengemukakan bahwa :
“Suatu pengumpulan pendapat yang
dilakukan Newsweek pada tahun 1992 mengungkapkan bahwa 49% dari orang-orang
yang disurvey menganggap televisi sebagai pemberi pengaruh terbesar pada
anak-anak. Hanya 26% responden beranggapan bahwa pembeeri pengaruh terbesar
adalah orang tua. Dan 49% mengatakan mereka menganggap televisi memberika
pengaruh negatif pada anak-anak”.
Khusus mengenai pengaruh televisi pada
pembentukan karakter kekerasan pada anak-anak, Milton Chen (ibid : 51)
mengungkapkan hasil penelitian yang dilakukan Dr.Tannis Macbeth Williams dan
para periset lain dari Universitas British Columbis di Kanada, yang membandingkan
tingkat agresi pada anak-anak kelas satu dan dua SD dari dua kota Kanada – yang
satu mempunyai TV, dan yang lain tidak bisa menerima TV karena
terhalangderetang pegunungan. Ketika kota pegunungan itu akhirnya bisa menerima
TV, tingkat pukul-memukul, Gigit-menggigit, dan dorong-mendorong pada anak-anak
itu meningkat sebesar 160%.
Oleh karena itu secara tegas, periset
TV Dr.Leonard Eron dari Universitas
Michigan (ibid : 55) menyatakan bahwa :
“Satu-satunya kelompok yang menyangkal adanya hubungan antara merokok
dengan kanker adalah orang-orang dalam industri tembakau. Dan satu-satunya
kelompo orang yang menyangkal adanya hubungan antara kekerasan dan televisi
adalah orang-orang kalangan industri hiburan.”
Namun demikian yang dikemukakan pada
tahun 1972 oleh Steinfeld itu hingga saat ini tidak kunjung dilakukan.
Kenyataannya mengingat saluran-saluran televisi telah semakin marak, begitu
pula kekerasan di televisi telah jauh lebih menonjol dan meluas.
Pengaruh televisi dan alat elektronik
canggih lainnya terhadap tindak kekerasan tawuran pelajar dan mahasiswa juga
diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Prof.Dr.Ing Wardiman Djojonegoro (Fakta
309 Edisi 1 juni 1996 : 12) :
“...bahwa pada dasarnya faktor
penyebabnya adalah faktor ekstern dan intern. Faktor intern misalnya, banyak
pelajar yang energik tapi tak punya tempat penyaluran. Ditambah lagi dengan
faktor ekstern berupa tayangan film-film kekerasan, tersedianya sarana
permainan ketangkasan yang bersifat kekerasan, dan sebagainya”.
D.
Hukum sebagai Sarana Pengatur Perilaku
Perubahan yang terjadi secara drastis
dalam era globalisasi ini, juga menyebabkan terjadinya pergeseran nilai-nilai
dalam masyarakat. Terjadinya pergeseran nilai dalam keluarga maupun lingkungan
yang lebih luas. Oleh karena itu pengaruh keluarga dan lingkungan yang lebih
luas, juga seyogianya mendapat perhatian sosiologi hukum.
Sebagai sarana social engineering, hukum merupakan suatu sarana yang
ditujukan untuk mengubah perilaku warga
masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah diterapkan sebelumnya. Salah
satu masalah yang dihadapi didalm bidang ini adalah adalah apabia terjadi apa
yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai
softdevelopment (Gunnar Myrdal 1968:Chapter 2 dan 18), di mana hukum-hukum
tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak efektif. Gejala-gejala
semacam itu akan timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi
halangan. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari bentuk hukum, penegak
hukum, para pencari keadilan (justitiable),maupun
golongan lain dimasyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan,
karena merupakan suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang
dirumuskan, tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan
tersebut. Kalau hukum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan
tersebut, maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai
sarana saja. Kecuali pengetahuan yang mantap tentang sifat hakikat hukum, juga
perlu diketahui adalah batas-batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana
(untuk mengubah ataupun mengatur perilaku warga warga masyarakat). Sebab,
sarana yang ada membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menetukan
sarana-sarana apakah yang tepat untuk dipergunakan.
Suatu contoh dari uraian di atas
misalnya, perihal komunikasi hukum. Kiranya sudah jelas, supaya hukum
benar-benar dapat mempengaruhi perilaku warga masyarakat, maka hukum tadi harus
disebarkan sluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat
komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat bagi penyebar serta
pelembagaan hukum. Komunikasi hukum tersebut dapat dilakukan secara formal,
yaitu melalui suatu tata cara yang terorganisir dengan resmi. Disamping itu,
ada juga tata cara informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan
salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana pengubah dan pengatur
perilaku. Ini semua termasuk apa yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran dari
unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam masyarakat yang bersangkutan. Proses
difusi itu antara lain dapat dipengaruhi oleh :
a.
pengakuan, bahwa unsur kebudayaan yang bersangkutan (di dalam hal ini
hukum), mempunyai kegunaan;
b.
ada tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang mungkin
merupakan pengaruh negatif ataupun
positif;
c.
sebagai suatu unsur yang baru, maka hukum tadi mungkin akan ditolak oleh
masyarakat, oleh karena berlawanan dengan fungsi unsur lama;
d.
kedudukan dan peran dari mereka yang menyebarluaskan hukum, mempunyai
efektifitas hukum di dalam mengubah serta mengatur perilaku warga
masyarakatnya.
Inilah yang merupakan batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana
pengatur atau pengubah perilaku. Dengan kata lain, masalah yang bersangkut-paut
dengan tata cara komunikasi itulah yang terlebih dahulu harus diselesaikan.
Untuk dapat mengidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan
hukum sebagai sarana pengatur perilaku, maka harus dibicarakan perihal struktur
penentuan pilihan para manusia, sarana yang ada untuk mengadakan social engineering melalui hukum,
hubungan antara hukumdengan perilaku, dan selanjutnya.
Kiranya telah jelas bahwa di dalam rumusan yang sederhana, maka masyarakat
terdiri dari pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok, yang di dalam kehidupannya
berkaitan secara langsung dengan penentuan pilihan terhadap apa yang ada di
dalam lingkunan sekitarnya. Pilihan-pilihan yang dapat dilakukakan, dibatasi
oleh suatu kerangka tertentu. Artinya, kalau dia sudah melampaui batas-batas
yang ada, maka mungkin dia menderita. Sebaliknya, kalau dia berada
dibatas-batas tertentu, maka dia akan mendapat imbalan-imbalan tertentu pula.
Inilah yang semuanya terkait pada kepentingan-kepentingan manusia pribadi
maupun di dalam kehidupan kelompok. Dengan demikian, maka lingkungan sekelilingnya,
menyediakan pembatasan-pembatasan atau kebebasan-kebebasan bagi pribadi dan
kelompok-kelompok sosial. Hans Kelsen pernah mengemukakan pendapatnya sebagai
berikut (Hans kelsen 1961 : 58) :
“..the legal norm does not, like the
moral norm, refer to the behavior of one
individual only, but to the behavior of two individuals at least; the
individual who commits or may commit the delict, the deliquent, and the
individual who ought to execute the sanction”.
Artinya, suatu kaidah hukum yang berisikan larangan atau suruhan atau
kebolehan bagi subjek hukum, sekaligus merupakan kaidah hukum bagi penegak
hukum untuk melakukakan tindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran. Kaidah hukum
yang pertama disebutnya adalah kaidah kaidah sekunder, sedangkan yang kedua
disebutnya adalah kaidah hukum primer. Model ini sedikit banyak menunjukkan
bahwa kaidah hukum mempengaruhi perikelakuan. Hal ini disebabkan karena
pemegang peranan menetukan pilihan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang
diberikan oleh lingkungannya. Kaidah-kaidah hukum dan adanyapenegak-penegak
hukum, merupakan salah satu batas untuk melakukan pilihan tersebut. Hukum
berproses dengan cara membentuk struktur pilihan-pilihan para pemegang peranan,
melalui aturan-aturan serta sarana-sarana untuk mengusahakan konformitas (yang
dalam arti lain, wujud sanksi). Proses tadi berjalan dengan cara :
a. penetapan kaidah-kaidah hukum yang harus dipatuhi oleh pemegang peranan;
b. perumusan tugas-tugas penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan
positi atau negatif, sesuai dengan apakah ada kepatuhan atau pelanggaran
terhadap kaidah-kaidah hukum, sehingga (Hans Kelsen 1961 : 16)
“The secondary norm stipulates the
behavior which the legal sanction endeavours to bring about stipulating the
sanction”.
Uraian Kelsen tersebut, hanya terbatas pada hubungan antara kaidah –kaidah
hukum tersebut. Padahal baik pembentukan hukum, penegakan hukum maupun para
pencari keadilan, kesemuanya adalah penegak peranan yang mempunyai struktur
pilihan yang ditentukan oleh lingkungannya masing-masing.
E.
Perubahan Sosial, Khususnya Urbanisasi dan Dampak Negatifnya
Berkaitan dengan prinsip hukum itu
tidak otonom maka lahirnya kejahatan pun termasuk tentunya kejahatan kekerasan
tidak terlepas dari kondisi masyarakatnya, senantisa tergantung (tidak mandiri)
terhadap berbagai faktor yang ada dalam masyarakatnya. Perubahan sosial
disektor manapun mau tidak mau akan mempengaruhi pula sektor hukum, termasuk
berpengaruh terhadap peningkatan kejahatan dimana di dalamnya terdapat berbagai
jenis kejahatan seperti penganiayaan, tawuran unjuk rasa yang diwujudkan dengan
berbagai tindakan kekerasan yang telah merupakan kejahatan seperti perusak
barang milik orang lain ataupun barang-barang milik umum, pencurian dengan
kekerasan (perampokan), pembunuhan dan sebagainya.
Hukum termasuk pernyimpangan yang kita
kenal sebagai kejahatan, sebagai fenomena sosial terpaksa tunduk pada
teori-teori perubahan sosial yang dikenal di dalam sosiologi.
Salah satu penyebab meningkatnya
kriminalitas adalah terjadinya perubahan sosial, dan salah satu penyebab
terjadinya perubahan sosial adalah pertambahan maupun pengurangan penduduk.
Salah satu perwujudan dari pertambahan penduduk di perkotaan adalah urbanisasi.
Selain itu faktor-faktor lain sebagai
penyebab perubahan antara lain :
a.
penemuan-penemuan baru;
b.
revolusi sosial;
c.
konflik intern;
d.
peperangan;
e.
bencana alam; dan
f.
pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Selain yang di kemukakan di atas, masih
terdapat beberapa faktor yang mempercepat proses perubahan, yaitu :
a.
kontak dengan kebudayaan lain;
b.
penduduk yang heterogen;
c.
toleransi terhadap tindakan-tindakan penyimpangan;
d.
sistem pendidikan yang modern;
e.
sikap menghargai hasil karya orang lain;
f.
motivasi untuk maju;
g.
ketidahpuasan terhadap sektor-sektor tertentu dalam kehidupan masyarakat;
h.
animo untuk meningkatkan taraf hidup.
Salah satu akibat industrialisasi
adalah meningkatnya urbanisasi. Menurut Hans-Dieter
Evers (1982 :449) :
“Urbanisasi merupakan salah satu proses
yang tercepat di antara perubahan-perubahan sosial di seluruh dunia.
Transformasi-transformasi sosial dan demografis bersamaan dengan tumbuhnya
penduduk kota dunia sebanyak lebih dari dua kali lipat antara tahun 1950-1960
(dari kira-kira 313 juta menjadi 655 juta orang). Sekitar tahun 1975bpenduduk
kota di dunia di atas garis 1.000 juta. Belum lam berselang urbanisasi dan
pertumbuhan kota dipandang sebagai suatu indikator modetnisasi dan kemajuan.
Pada tahun 1958 Daniel Lrner masih dapat menyatakan bahwa urbanisasi merupakan
prakondisi untuk modernisasi dan pembangunan; adalah perpindahan penduduk dari
daerah pedalaman ke pusat-pusat kota yang menstimulasi kebutuhan dan penyediaan
syarat-syarat yang dibutuhkan untuk ‘tinggal landas’ ke arah partisipasi yang
lebih meluas. Kota-kota menghasilkan alat-alat mesin untuk modernisasi. Dewasa
ini para ahli menjadi kurang optimis terhadap urbanisasi. Kota-kota tidak
dipandang lagi sebagai pusat perubahan dan maju, tetapi sebagai daerah-daerah
kritis..dipandang sebagi pusat-pusat problem sosial, buta huruf, penyakit,
kejahatan, dan kemiskinan...”
Tentu saja laju urbanisasi jika tidak
disertai perangkat hukum yang antisifatif dan efektif, pasti akan menimbulkan
berbagai dampak yang cukup mengerikan, misalnya peningkatan kejahatan kekerasan
secara cukup drastis.
Kesenjangan antara daerah kumuh dan
elit di perkotaan, ukurannya bukan sekadar ukuran ekonomi saja, melainkan juga
terdapat perbedaan jenis kejahatan favorit masing-masing daerah itu, yaitu pada
daerah elit selain kejahatan kekerasan juga tentunya santer dengan jenis white collar crime, sebaliknya pada
daerah kumuh takkan muncul white collar
crime.
Teori tentang daerah kumuh yang
cenderung melahirkan kejahatan kekerasan, terbukti di daerah-daerah kumuh Ujung
Pandang dengan maraknya jenis kejahatan kekerasan dalam wujud tawuran, di
samping jenis-jenis kejahatan lain yang meskipun memiliki kasamaan dengan
tawuran, tetapi sebagai delik adalah berdiri sendiri sebagai penganiayaan dan
pembunuhan.
Tingginya kecenderungan kriminalitas di
kalangan orang tak berduit di perkotaan, apalagi yang menjadi penghuni
daerah-daerah kumuh, bukan sekedar sebagai kebutuhan langsung untuk menyambung
hidup, misalnya terpaksa merampok dan menganiaya atau membunuh korban, sekadar agar
dapat makan dan minum. Kriminalitas perkotaan juga di sebabkan oleh berbagai
faktor psikologis sebagai akibat kemiskinan yang menyengsarakan.
Oscar Lewis (Parsudi Suparlan (ed), 1995 : 11) yang menggunakan
istilah “kebudayaan kemiskinan” menuliskan bahwa ciri-ciri golongan miskin di
perkotaan adalah :
“Mereka yang berkebudayaan kemiskinan
berorientasi pada kejadian-kejadian dalam batas-batas propinsi dan lokal serta
tidak mempunyai kasadaran sejarah. Mereka hanya kesulitan-kesulitan, kondisi
setempat, lingkungan tetangga dan cara hidup mereka sendiri saja. Biasanya
mereka tidak mempunyai pengetahuan, pandangan dan ideologi untuk melihat persamaan maslah-masalah yang
mereka hadapi dan yang dihadapi oleh golongan yang sama dengan mereka di
bagian-bagian lain dari dunia ini. Mereka tidak mempunyai kesadaran kelas
meskipun mereka itu sangat sensitif terhadap perbedaan-perbedaan status”.
Ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh
Oscar Lewis di atas, jelas sangat mempengaruhi kecenderungan golongan miskin
ini untuk melakukan kejahatan, termasuk kejahatan kekerasan, mengingat
ketiadaan informasi dan pengetahuan mereka tentang kemungkinan mereka
tertangkap oleh pihak yang berwajib jika melakukan kejahatan, berapa berat
sangsi pidana yang bakal mereka terima di pengadilan, dan akibat-akibatnya.
F. Teori-teori Perubahan
Suatu kaidah sosial yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan warga
masyarakat, jelas akan sulit untuk mendapatkan ketaatan dari warga masyarakat
tersebut. Perubahan sosial senantiasa mengubah pula kebutuhan warga masyarakat,
senantiasa mengubah pula nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, mengubah sitem
pembagian kekuasaan, mengubah stuktur ekonomi dan sosial, mengubah statifikasi
sosial. Keseluruhan perubahan tersebut mau tidak mau merupakan panggilan agar
hukum melakukan campur tangan di dalamnya.
Proses hukum yang berlangsung di dalam suatu jaringan atau sistem
kemasyarakatan, mengandung arti bahwa hukum hanya mampu dimengerti dengan jalan
memahami dulu sistem kemasyarakatan dan bahwa hukum meerupakan suatu proses.
Hukum bertujuan untuk mewngkoordinasi aktivitas-aktivitas warga masyarakat di
mana aktivitas-aktivitas itu senantiasa berubah sesuai dengan perubahan
masyarakatnya. Sebagai contoh, beberapa abad silam aktvitas penduduk pedesaan
melakukan pnebangan pohon di hutan-hutan belumlah membutuhkan perhatian khusus
dari hukum, karena kepentingan warga masyarakat belum terusik atau terganggu.
Tetap kini, penebangan pohon di hutan-hutan yang dilakukan secara besar-besaran
sudah langsung mengancam kepentingan warga masyarakat, dan karena itu hukum
merasa berkewajiban turut campur secara lebih serius dan langsung dalam wujud
aturan-aturan hukum lingkungan.
Contoh di atas dimaksudkan untuk untuk lebih menunjukkan bahwa perubahan
apapun yang terjadi di dalam dimasyarakat akan berakibat pula terhadap hukum yang
diberlakukan terhadap masyarakat tersebut.
Efektif atau tidaknya aturan hukum sangat bergantung pula pada mampu atau
tidaknya aturan hukum itu menyesuaikan diri terhadap perubahan masyarakat.
Tetapi jika hukum tidak mampu lagi menyesuaikan diri menyesuaikan diri dengan
perubahan yang telah terjadi di dalam masyarakat, maka akan berlakulah pameo
hukum : het recht hink achter de feiten
aan (hukum senantiasa terseok-seok mengikuti seyogianya diaturnya).
Huntington Cairos telah mengemukakan bahwa :
“Tidak mungkin untuk mengetahui
bagaimana hukum beroperasi tanpa mengetahui secara luas faktor-faktor yang menyebabkan
perubahan-perubahan dalam masyarakat dan faktor-faktor yang mengusai
perkembangan”.
Apa yang dikemukakan oleh Huntington Cairos di atas menunjukkan betapa
pentingnya untuk mengkaji bagaimana keterkaitan antara perubahan hukum dan
perubahan masyarakat.
Berbagai perubahan pada dasarnya dapat dijelaskan dengan teori-teori
perubahan yang telah menjadi konsep pandangan berbagai pakar sosiologi dan
hukum. Seperti yang dikemukakan oleh Earl
Renner :
“Salah satu tugas sosiologi hukum adalah untuk menjelajahi
kekuatan-kekuatan sosial yang akan menjelaskan terbentuknya kaidah-kaidah hukum
dan pranata-pranata serta perubahan di dalam hukum positif”.
Dalam pembahasan ini akan membedakan teori-teori tentang perubahan hukum
dan perubahan masyarakat menjadi dua kelompok. Pertama yang menganggap hukum
yang mengikuti perubahan masyarakat, dan yang kedua masyarakat yang mengikuti
perubahan hukum atau perubahan yang dikehendaki oleh hukum.
Tetapi sebelumnya kita perlu mengetahui defenisi perubahan hukum dan
defenisi perubahan sosial.
Jika kita menyebutkan perubahan hukum, maka yang berubah adalah salah satu
atau lebih dari unsur yang sangat mendasar dari suatu sistem hukum, yaitu :
a) substansi hukumnya mencakup aturan-aturan hukum, kaidah-kaidah hukum dan
asas-asas hukum;
b) struktur hukumnya mencakup pranata-pranata hukum serta pengorganisasiannya;
c) kultur hukumnya mencakup pola pikir dan perilalku para aktor hukumnya.
Sedangkan definisi perubahan sosial antara lain dikemukakan oleh T.B. Bottomore (1972:297) bahwa
perubahan sosial adalah :
“ ..a change in social structure
(including here changes in the size of society), or in particular social
institution, or in the relationships between institutions”.
Perubahan sosial itu dapat mencakup :
a) perubahan nilai-nilai sosial;
b) perubahan norma-norma sosial;
c) perubahan pola-pola perilaku;
d) perubahan organisasi sosial;
e) perubahan susunan lembaga kemasyarakatan;
f) perubahan lapisan-lapisan dalam masyarakat;
g) perubahan kekuasaan dan wewenang;
h) perubahan interaksi sosial dll.
Menurut Soerjono Soekanto (1981
: 25) dibedakan dua jenis penyesuaian yang penting diketahui dalam rangka
pembahasan tentang perubahan sosial, yaitu :
a) Penyesuaian diri lembaga-lembaga sosial pada kondisi –kondisi yang sedang
mengalami perubahan;
b) Penyesuaian pada orang-orang secara individual yang berusaha untuk
menyesuaikan dirinya pada lembaga-lembaga sosial yang telah diubah atau
diganti, agar yang bersangkutan terhindar dari disorganisasi kejiwaan.
Proses perubahan itu bersumber dari penyebaran ide-ide baru atau difusi,
dan selanjutnya terjadi tiga tahap :
1. awareness : Seseorang mulai menyadari kehadiran ide-ide baru.
2. trial : Ia memutuskan untuk mencoba menggunakan
ide-ide baru tersebut.
3. adoptions : Jika ia akhirnya memutuskan untuk menggunakan ide-ide baru
tersebut.
Setiap orang tidak sama kualitas kemampuannya menerima dan menggunakan
sesuatu yang baru. Ada orang yang cepat terpengaruh menggunakan ide atau barang
baru, tetapi ada pula yang sebaliknya.
Menurut Soerjono Soekanto (1981 : 26-27) :
“..Unsur-unsur yang cenderung untuk lebih mudah diadopsi adalah yang
metodenya jelas-jelas lebih baik dan lebih menguntungkan orang yang
mengadopsinya. Kecuali itu, yang lebih mudah diadopsi adalah unsur-unsur yang
serasi dengan norma-norma serta nilai-nilai yang berlaku, dan yang sifatnya
lebih sederhana maupun dapat dicoba secara berangsur-angsur. ide-ide baru juga
lebih mudah diterima, apabila lebih mudah dimengerti melalui komunikasi yang
sederhana. Mereka yang dapat digolongkan ke dalam kategori early adorters pada umumnya termasuk golongan muda yang secara
relatif statusnya tidak rendah, sifatnya tidak terlalu kaku dan mempunyai
rasionalitas yang tinggi. Mereka mempunyai hubungan langsung dengan innovators dan pada umumnya lebih
mempergunakan sumber-sumber informasi yang impersonal. Di dalam hubungan ini,
para mahasiswa umumnya dapat digolongkan ke dalam early adorters.
1. Hukum Menyesuaikan Diri dengan Perubahan Masyarakat
Mengapa hukum dituntut mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan
masyarakat, tidak lain karena fungsi hukum untuk melindungi kepentingan warga
masyarakat. Hukum berfungsi untuk mengatasi konflik kepentingan yang mungkin
timbul diantara warga masyarakat. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan
oleh Satjipto Rahardjo (1982 : 24)
“...betapa hukum itu ada dalam masyarakat untuk keperluan melayani
masyarakatnya. Karena ia melayani masyarakatnya, maka ia sedikit banyak juga
didikte dan dibatasi oleh
kemungkinan-kemungkinan yang bisa disediakan oleh masyarakatnya. Dalam keadaan
yang demikian ini maka apa yang bisa dilakukan hukum turut ditentukan oleh
sumber-sumber daya yang ada dan tersedia dalam masyarakatnya”.
Persoalan penyesuaian hukum terhadap perubahan yang dalam masyarakat,
terutama yang dimaksud adalah hukum tertulis atau perundang-undangan (dalam
arti luas). Hal ini sehubungan dengan kelemahan perundangan-undangan seperti
statis, kaku, kurang jelas, tidak lengkap dan tidak tuntas.
Pandangan seperti itu antara lain tersirat dalam apa yang dikemukakan oleh
Watson berikut ini.
“Pertumbuhan dan evolusi hukum secara luas ditentukan oleh suatu tradisi
hukum yang otonom yang ada dan beroperasi di luar ruang lingkup kebutuhan
sosial”.
Pandangan Watson ini memang agak berbeda dengan pandangan sosiologi, karena
bagi Watson perubahan hukum didominasi justru oleh tradisi hukum sendiri yang
sifatnya otonom.
Tetapi kemudian Watson juga mengakui pengaruh faktor nonhukum terhadap
perubahan hukum, seperti yang lebih lanjut dikemukakannya :
“Legal development is determined by
their culture; and social economic, and political factors impinge on legal
development only through their conciousness”.
Jadi Watson menegaskan bahwa perkembangan hukum ditentukan oleh kultur
mereka sendiri. Siapa mereka ini? Mereka disini adalah para legislator,
pengacara dan hakim. Faktor-faktor sosial ekonomi dan politik, hanya
berpengaruh terhadap perkembangan hukum melalui kesadaran mereka.
Oleh karena itu pula Watson melihat perkembangan dan perubahan hukum
sekedar hanya mengikuti kepentingan the
ruling class seperti yang dituliskannya :
“Hukum tidak mendahului kepentingan-kepentingan ‘the ruling class’, malahan hukum merupakan percerminan kultur dari
para elit hukum”.
Jadi perubahan hukum memang senantiasa dirasakan perlu dimulai sejak adanya
kesenjangan antara keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa, serta
hubungan-hubungan dalam masyarakat dengan hukum yang mengaturnya.
Bagaimanapun kaidah hukum tidak mungkin kita lepaskan dari hal-hal yang
seyogiahnya diaturnya, sehingga ketika hal-hal yang seyogiahnya diaturnya tadi
telah berubah sedemikan rupa, tentu saja dituntut perubahan hukum untuk
menyesuaikan diri agar hukum masih efektif dalam pengaturannya.
Di sini yang ditekankan adalah hukum senantiasa menunggu terjadinya
perubahan kebutuhan masyarakatnya, barulah kemudian juga ikut berubah demi
menyesuaikan diri dengan perubahan kebutuhan masyarakatnya itu.
Suatu bukti adanya perubahan itu, adalah semakin banyaknya arus perundang-undangan
yang mengalihkan barang milik menjadi barang umum. Dengan demikian makna
abstrak dari hak milik yang sementara itu dirumuskannya tetap saja telah
berubah isinya diakibatkan bergesernya hubungan-hubungan yang diatur oleh
kaidah itu menjadi menjadi bersifat publik. Ini dituliskan oleh Renner (1969 :
35-36) bahwa :
“We see that the right of ownership thus
asumes a new social fondation. Without any change is the norm, below the
threehold of colective consciousness, a de facto right is added to the personal
absolute domination over coporeal thing. this right is not based upon a special
legal provision. It is the power to control, the power to issue commands and
the enforce them... Thus the institution of property leads automatically to an
organizstion similar to the state”.
Menjawab pertanyaan tentang kapan saatnya untuk melakukan perubahan hukum
dalam rangka menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat,
maka Grad (1968 : 480-485) menyatakan bahwa tidak mudah untuk menetapkan kapan
saatnya tiba bagi hukum untuk mengatur, sebab pada suatu waktu mungkin oleh
suatu kelompok dalam masyarakat sesuatu hal yang dirasakan sebagai suatu
problem yang membutuhkan pemecahan, tetapi belum tentu kelompok lain merasakan
hal yang sama. Dalam kaitan ini dibutukan penguasaan yang lebih tentang tingkat
kematangan kelompok.
Bagi Achmad Ali, perubahan hukum untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan
masyarakat yang telah terjadi terlebih dulu, di masa modern dan era globalisasi
ini membutuhkan proses perubahan yang lebih cepat jika dibanding dengan
perubahan hukum di zaman dulu.
Sebagai contoh, kita saksikan sendiri betapa cepatnya perubahan yang
terjadi di sektor teknologi komunikasi dewasa ini. Hampir setiap bulan terjadi
pembaharuan hasil teknologi komputer misalnya, mulai dari perubahan kecepatan
prosesnya, perubahan muatan kapasitas hard-disknya, dan sebagainya. Dan kalau
perubahan drastis itu sudah berkaitan dengan hukum, misalnya terjadi kejahatan
komputer, mau tak mau hukum khususnya perundang-undangan harus mampu
menyesuaikan diri sesegera mungkin agar ia tetap dapat memecahkan problem hukum
tadi, yang pada akhirnya menentukan ditaati tidaknya ketentuan tersebut.
Suatu aturan hukum yang sudah ketinggalan dari kebutuhan masyarakatnya,
mustahil dapat mewujudkan tujuan yang ingin dicapai hukum,seperti keadilan dan
kemanfaatan. Bukankah ada pameo hukum Latin yang bunyinya :
Aequum et bonum est lex legum;
Yang berarti, sesuatu yang tidak adil dan baik adalah hukum dari hukum.
2. Hukum menjadi alat untuk melakukan perubahan masyarakat
Pandangan bahwa hukum tidak sekadar pasif menunggu adanya perubahan, tetapi
aktif menciptakan perubahan. Dimana peran hukum dalam membangun adalah justru
untuk mendirikan infrastruktur bagi tercapainya perubahan politik, perubahan
ekonomi dan perubahan sosial di dalam masyarakat. Hal ini terkandung dalam Samuel Amoo bahwa :
“the role of law in development is to
establish the infrastruktur for realizing political, economic, and social
change in society”.
Lon L. Fuller yang terkenal itupun mengharapkan peran aktif
hukum, terlihat dari kalimatnya yang sering dikutip oleh pakar-pakar lain bahwa
:
“Secara tegas saya melihat hukum sebagai suatu usaha dengan maksud
tertentu, yang keberhasilannya tergantung pada energi, wawasan, inteligensia
dan kesadaran dari para pelaku hukum”
Hal ini selaras juga dengan apa yang sangat terkenal pula dari Eugen Ehrlich:
“Baik kini dan dimasa kapanpun, pusat kegiatan dari perkembangan hukum bukanlah
dari perundang-undangan, bukan dalam ilmu hukum, juga bukan dalam putusan
pengadilan, tetapi dalam masyarakat sendiri”.
Fungsi hukum untuk menggerakkan perubahan masyarakat yang terencana lazim
kita namakan fungsi hukum sebagai a tool
of social engineering.
Yang mula-mula memperkenalkan konsep hukum sebagai alat rekayasa sosial itu
adalah Roscoe Pound, pakar dari Harvard University U.S.A.
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakatnya, dalam arti bahwa hukum
mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change. Agent of change atau pelopor perubahan adalah
seseorang atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat
sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor
perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan di dalam
melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam tekanan untuk mengadakan
perubahan, bahkan mungkin menyebabkan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan sosial yang dikehendaki atau
direncanakan, selali berada dibawah pengendalian serta perngawasan pelopor
perubahan tersebut. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang
teratur dan direncanakan terlebih dahulu, dinamakan social engineering atau social
planning.
Sebagaimana disinggung di atas, hukum mungkin mempunyai pengaruh langsung
atau pengaruh tidak langsung di dalam mendorong terjadinya perubahan sosial.
Misalnya suatu peraturan yang menentukan sistem pendidikan tertentu bagi warga
negara mempunyai pengaruh secara tidak langsung yang sangat penting bagi
terjadinya perubahan-perubahan sosial. Seperti di Indonesia, sejak Proklamasi Kemerdekaan
pada tahun 1945, semua Sekolah Dasar harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar.
Suatu contoh lain adalah tentang jumlah universitas dan mahasiswa di Indonesia.
Sebelum UU No. 22/1961 ditetapkan terdapat 14 universitas negeri dengan 65.000
mahasiswa. Terlepas dari segi baik-buruk, sejak undang-undang tersebut
ditetapkan, jumlah universitas negeri naik sampai menjadi 34 buah dengan
158.000 mahasiswa. Contoh ini diberikan untuk sekadar membuktikan bahwa suatu
keputusan hukum dapat memperbanyak jumlah lembaga-lembaga pendidikan (misalnya
universitas) dan selanjutnya lembaga-lembaga tersebut merupakan alat
sosialisasi, akulturasi, perubahan, mobilitas atau gerak sosial, dan tempat
pendidikan bagi golongan elit yang potensiil. Lembaga-lembaga pendidikan
memperkenalkan ide-ide baru lembaga-lembaga tersebut dapat menarik dari
orang-orang dari latar belakang etnik yang berbeda. Lembaga-lembaga pendidikan
tersebut (yang kebanyakan bertempat tinggal di daerah-daerah perkotaan) yang
menarik warga-warga daerah pedesaan, dan sampai batas-batas tertentu
lembaga-lembaga tadi mendidikgolongan elit masa depan.
Di dalam berbagai hal hukum mempunyai pengaruh langsung terhadap
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang artinya adalah bahwa terdapat hubungan yang
langsung antara hukum dengan perubahan-perubahan sosial. Suatu kaidah hukum
yang menetapkan bahawa janda dan anak-anak tanpa memperhatikan jenisnya dapat
menjadi ahli waris mempunyai pengaruh langsung terhadap terjadinya
perubahan-perubahan sosial, sebab tujuan utamanya adalah untuk mengubah
pola-pola perilaku dan hubungan-hubungan antara warga masyarakat.
Perlu diperhatikan bahwa perbedaan antara pengaruh langsung dengan pengaruh
tidak langsung dari hukum sering kali tidak dapat ditetapkan secara mutlak atau
kadang-kadang dasar perbedaannya akan goyah. Sebab, dalam berbagai hal pengaruh
langsung maupun pengaruh tidak langsung saling mengisi. Akan tetapi keuntungan
hukum bertujuan untuk memelihara tata tertib dalam masyarakat tidak perlu
bersifat koservatif.
Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk
mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam
perubahan-perubahan yang dikehendaki atau perubahan yang direncanakan (intended change atau planed change). Dengan
perubahan-perubahan yang dikehendaki dan direncanakan dimaksudkan sebagai suatu
perubahan yang dikehendaki dan direncakan oleh warga masyarakat yang berperan
sebagai pelopor masyarakat. Dan dalam masyarakat yang sudah kompleks di mana
biokrasi memegang peranan penting tindakan-tindakan sosial, mau tak mau harus
mempunyai dasar hukum untuk sahnya. Dalam hal ini maka hukum dapat menjadi alat
ampuh untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial, walaupun secara tidak langsung.
Oleh sebab itu, apabila pemerintah ingin membentuk badan-badan yang berfungsi
untuk mengubah masyarakat (secara terencana), maka hukum diperlukan untuk
membentuk badan tadi serta untuk menentukan dan membatasi kekuasaannya. Dalam
hal ini kaidah hukum mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan
membentuk badan-badan yang secara langsung berpengaruh terhadap
perkembangan-perkembangan bidang-bidang sosial, ekonomi dan politik.
I.
Perubahan Hukum menurut Max Weber
Max Weber yang dipengaruhi oleh pemikirannya yang berdasarkan pengamalan
dan pengamatannya di Jerman, menyakini bahwa perkembangan hukum senantiasa
selaras dengan perkembangan masyarakatnya.
Max Weber melihat hukum dan masyarakat berkembang dari masyarakat dan hukum
tradisional, ke kharismatik hingga pada tahap terakhir yang rasional.
Oleh karena itu, Max Weber pertama-tama memandang taraf awal adalah masyarakat yang bentuk
legitimasinya masih tradisional. Dalam masyarakat tipe ini, bentuk
administrasinya bersifat patromanial. Ketaatan masyarakatnya adalah ketaatan
tradisional sifatnya yang berwujud duty
to individual encumbent. Bentuk proses peradilannya adalah empirik,
substantif dan personal (khadi).
Bentuk keadilannya pun empirik. Tipe pemikiran hukumnya formal irradionality dan substantive
rationality.
Pada tahap kedua, yaitu masyarakat tiba pada tahap yang dinamakan sebagai
kharismatik yang didominasi oleh legitimasi charismatic
Authority dan personal devotion. Dalam masyarakat
kharismatik ini tidak ada administrasi dan hanya ada routinisation of charisma. Ketaatannya bersifat response to social psychological charateristics of individual. Bentuk keadilannya pun adalah keadilan
kharismatik, yang berdasarkan tipe pemikiran hukum yang formal irrationality dan sustantive
irrationality.
Kemudian tahap terakhir dari perkembangan masyarakat dan hukum dalam
pandangan Max Weber adalah tipe masyarakat yang rational legal, dengan bentuk legitimasi yang mendominasinya adalah
legitimasi yang juga rasional-legal di mana authority
derived from system of law, rationally and consciously enacted.
Menurut Max Weber perkembangan tersebut berawal pada bentuk-bentuk
pemerintah tradisional yaitu yang patrimonial (berdasarkan pembapakan) dan yang
feodalistis. Bentuk-bentuk tradisional tersebut berkembang menjadi monarkhi
absolut dan lembaga-lembaga perwakilan. Proses tersebut menunjukkan semakin
meningkatnya monopoli pemerintah untk menggunakan kekuasaan untuk memaksa dan
yang diikuti oleh perkembangan sistem hukum yang rasional serta yang mencapai
puncaknya pada konsep tertib hukum modern (Bendix, 1962 : 390).
II.
Teori-teori Perubahan dari Beberapa
Pakar (Achmad Ali, 1988:39-44)
1.
Teori Perubahan Sosial dari William F.
Ogburn
Ogburn menekankan perubahan sosial pada faktor kondisi-kondisi teknologi
dan ekonomis. Menurut kacamata Ogburn, kondisi-kondisi seperti tersebutlah yang
dianggapnya sebagai dasar dari organisasi-organisasi sosial maupun nilai-nilai.
Karena itu nilai-nilai yang merupakan hasil situasi-situasi teknologis dan
ekonomis, merupakan pula titik tolak yang harus dipelajari terhadap terjadinya
perubahan-perubahan sosial.
Ogburn membedakan antara kebudayaan materiil dengan kebudayaan immateriil.
Yang termasuk kebudayaan materiil adalah lembaga-lembaga sosial,nilai-nilai dan
norma-norma. Ogburn berpendapat bahwa perubahan pada kebudayaan materiil
cenderung terjadi lebih dulu.
Dalam proses penyesuaian kebudayaan immateriil dengan kebudayaan materiil mungkin
terjadi yang disebutnya dengan istilah cultural
lag (kesenjangan kebudayaan). Akhir teori perubahan dari Ogburn lebih
dikenal dengan Teori Cultural Lag.
Sebagai contoh dari cultural lag
adalah ketika tingkat kebudayaan masyarakat pedesaan X masih dalam taraf
keterbelakangan, lalu masuk kebudayaan materiil yang lebih maju yaitu kulkas.
Apa yang terjadi akibat cultural lag ini?
Kulkas-kulkas yang mereka beli mereka jadikan “lemari pakaian”.
2.
Teori Hukum Perkembangan dari Herbert
Spencer
Spencer melihat bahwa dalam keadaan
apapun perkembangan selalu berlangsung secara evolusi dari yang sederhana ke
arah sesuatu yang kompleks, melalui berbagai tahap differensiasi yang
berkesinambungan. Mulai dari perkembangan kosmis yang dapat ditelusuri hingga
pada hasil peradaban terakhir. Di dalam kesemuanya itu terdapat proses
trasformasi dari yang homogen ke yang heterogen, yang secara esensial memuat
perkembangan. Perkembangan dari taraf sederhana menjadi taraf yang mengenal pembagian
kerja.
3.
Teori Pertambahan Penduduk dari August Comte
Comte mengistimewakan pengaruh pertambahan penduduk secara alamiah terhadap
perubahan sosial. Meskipun Comte juga mengakui pengaruh faktor-faktor lain,
tetapi yang utama menurut Comte adalah pertambahan penduduk yang dilihatnya
selalu merupakan gejala yang konkrit dari meningkatnya perbaikan kondisi
manusia.
Comte menegaskan bahwa pusat perhatiannya bukan pada pertambahan
penduduknya, melainkan pada konsentrasinya di suatu tempat tertentu, yang
kemudian dapat diterapkan pada pemusatan-pemusatan manusia di manapun pada masa
apapun dalam perkembangan umat manusia.
Auguste Comte membagi tahap perkembangan jiwa dan pikiran manusia atas :
ü
tahap teologis primitif;
ü
tahap metafisik transisional;
ü
tahap positif yang terakhir.
Ketiga tahap ini merupakan dasar pemikirannya tentang evolusi sosial.
Comte yakin bahwa dengan perkembangan yang lebih sempurna dari ilmu dan
pengetahuan manusia akan menyebabkan manusia mampu mengatasi peledakan
pertumbuhan kependudukan. Buku Comte yang terkenal adalah the positive Philosophy.
4.
Teori Perubahan Hukum dan Masyarakat
dari Emile Durkheim
Emile Durkheim dalam karyanya De la
division dan dalam Les Regles,
memberi perhatian besar pada persoalan pembagian kerja dalam perubahan sosial.
Durkheim melihat bahwa peningkatan jumlah penduduk harus serentak dengan
peningkatan kepadatan materi, derajat konsentrasi penduduk pada wilayah
tertentu dan terutama kapadatan moral atau kepadatan dinamis.
Yang dimaksudkan Durkheim di sini adalah bahwa jumlah individu-individu
yanng memelihara hubungan satu sama lain bukan saja yang bersifat lugas,
melainkan juga yang bersifat moral, yaitu menjalani kehidupan bersama.
Kepadatan itu ditingkatkan itu ditingkatkan oleh konsentrasi penduduk dalam
wilayah-wilayah tertentu, oleh pembentukan kota-kota dan oleh peningkatan
jumlah dan kesempatan sarana-sarana komunikasi.
Dan akhirnya Durkheim melihat bahwa pertumbuhan volume dan kepadatan,
memaksa adanya pembagian kerja. Ini karena perjuangan hidup dipertajam olehnya.
Konflik-konflik sosial hanya mungkin dielakkan, paling tidak dikurangi jika orang-orang
melakukan spesialisasi.
Jadi Durkheim melihat peningkatan pembagian sebagai “daya penggerak
kemajuan”, dan yang semuanya proses mekanis yang berlangsung terlepas dari
kemauan individu.
Lebih lanjut Emile Durkheim mengemukakan bahwa apa saja yang daat dilakukan
pada setiap individu dalam masyarakat adalah tergantung dari social order. Jadi, kebebasan ini tidak
ada dalam individu, tetapi kebebasan ini berada dalam kerangka masyarakat.
jika dilihat dari teori Emile maka bentuk masyarakat Indonesialah yang
justru benar, dan justru bentuk masyarakat individualistis ala barat yang
salah.
Kritik terhadap teori Emile Durkheim adalah bahwa di dalam kenyataannya
tidak benar pada masyarakat sederhana jenis hukumnya represif, tetapi justru
masyarakat sederhana didominasi oleh hukum yang restitutif, karena mereka
mengutamakan keharmonisan.
5.
Teori Perubahan Sosial dari Ferdinand
Tonnies
Tonnies melihat adanya dua tahap perkembangan masyarakat yaitu dari
masyarakat yang gemeinschaft menuju
pada masyarakat yang gesellschaft.
Masyarakat tipe gemeinschaft adalah prototipe yang sifatnya alamiahdan
didasarkan pada hubungan batiniah, sedangkan tipe gesellschaft adalah
didasarkan pada hubungan karena kepentingan yang rasional dan sifatnya
antifisial. Gesellschaft didasarkan pada ikatan lahiriah yang sifatnya pokok
untuk masa yang pendek.
6.
Teori Perubahan Masyarakat dan Hukum
dari H.S. Mane
Mane mengikuti ajaran Herbert Spencer yang terutama menghubungkan antara
perkembangan masyarakat dengan perubahan hukum. Mane melihat bahwa pola
perkembangan adalah dari pola status kepola kontrak.
KESIMPULAN
Diatas telah dibicarakan dalam garis besarnya tentang hubungan antara
perubahan-perubahan sosial dengan hukum. Perubahan-perubahan sosial di satu
pihak menonjolkan segi dinamika dari suatu masyarakat yang dapat dikatakan
merupakan ciri yang tetap dari setiap masyarakat. Di lain pihak hukum sebagai
gejala sosial merupakan suatu sarana untuk mempertahankan serta menjaga adanya
ketertiban. Khusus bagi negara-negara yang lahir melalui suatu perjuangan
kemerdekaan atau revolusi, hukum seringkali dianggap sebagai lambang status quo. Namun negara-negara yang
muda yang disebut di mana Indonesia merupakan salah satu contoh, pada dewasa
ini sedang melakukan proses pembangunan yang mempunyai ciri berupa suatu proses
perubahan. Perubahan tidak selamanya menghasilkan.
0 komentar:
Posting Komentar