Jumat, 07 Desember 2012

RESIPROSITAS


P e m b a h a s a n
A. Teori Resiprositas
Fenomena pertukaran dalam masyarakat memang sangat menarik untuk dipelajari, karena resiprositas menyangkut pertukaran timbal balik antar individu atau antar kelompok yang selalu ada dalam setiap lapisan masyarakat, bahkan menurut Polanyi, seorang ahli yang concern dalam meneliti klasifikasi pertukaran. Menyebut rasa timbal balik (resiprokal sangat besar yang difasilitasi oleh bentuk simetri instisional. Ciri utama organisasi orang- orang yang tidak terpelajar.
Berpijak dari batasan tersebut ,maka dapat disimpulkan bahwa tanpa adanya hubungan simetris antar kelompok atau antar individu ,maka resiprositas cenderung tidak akan berlangsung. Hubungan simetris ini adalah hubungan sosial, dengan masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama ketika proses pertukaran berlangsung. contohnya adalah dalam waktu yang sama dan di sebuah lingkungan yang sama terdapat dua orang yang mengadakan selamatan, namun salah satunya punya kedudukan lebih tinggi dalam stratifikasi sosial di masyarakat. Dalam aktivitas tersebut mereka tidak menempatkan diri pada kedudukan sosial yang berbeda. Mereka sejajar sebagai warga kelompok keagamaan, meskipun sebagai warga desa mereka mempunyai derajat kekayaan dan prestise sosial yang berbeda-beda. Peristiwa tersebut menunjukkan adanya posisi sosial yang sama, pada suatu saat menjadi pengundang dan yang diundang.
Konsep resiprositas berbeda dengan konsep redistribusi karena adanya hubungan simetris tersebut sebagai syarat timbulnya aktivitas resiprositas. Sebaliknya, aktivitas redistribusi memerlukan adanya individu-individu tertentu yang tampil sebagai pengorganisir pengumpulan barang atau jasa dari anggota-anggota kelompok. Setelah dikumpulkan kemudian barang atau jasa tersebut didistribusikan kembali kedalam kelompok tersebut dalam bentuk barang atau jasa yang sama atau berbeda. Contoh redistribusi misalnya, kewajiban warga masyarakat untuk membiayai pesta desa dan melakukan kerja bakti. Masyarakat menyediakan dana dan tenaga untuk aktivitas tersebut, kemudian mereka menikmati hasil partisipasi mereka bersama. Dalam aktivitas tersebut kelompok sebagai suatu organisasi mendelegasikan wewenang kepada individu tertentu untuk mengontrol pelaksanaan dari aktivitas tersebut.
Karakteristik lain yang menjadi syarat sekelompok individu atau beberapa kelompok dapat melakukan aktivitas resiprositas adalah adanya hubungan personel diantara mereka. Pola hubungan ini terutama terjadi di dalam komunitas kecil dimana anggota-anggotanya menempati lapangan hidup yang sama. Dalam komunitas kecil itu kontrol social sangat kuat dan hubungan sosial yang intensif mendorong orang untuk  berbuat untuk mematuhi adat kebiasaan. Sebaliknya, hubungan impersonal tidak bisa menjamin berlakunya resiprositas karena interksi antar pelaku kerjasama resiprositas sangat rendah sehingga pengingkaran pun semakin mudah muncul.
Proses pertukaran resiprositas lebih panjang dari pada jual beli. Proses jual beli biasanya terjadi dalam waktu yang sangat pendek, misalnya jual beli barang di pasar. Kalau pembeli telah menawar  barang dan mampu membayar kontan, maka kalau barang telah dibayar  berarti proses jual beli tersebut berakhir. Proses pertukaran resiprositas ada yang relatif pendek, namun juga ada yang panjang. Dikatakan pendek, kalau proses tukar menukar barang atau jasa dilakukan dalam jangka waktu tidak lebih dari satu tahun, misalnya tolong menolang antar  petani dalam mengerjakan tanah. Tolong menolong ini dapat berlangsung hanya dalam satu musim tanam, dan kalau kedua belah pihak telah memberikan bantuan dan menerima kembali bantuan yang diberikan,maka proses resiprositas tersebut dapat dikatakan telah berakhir.
Proses resiprositas yang panjang jangka waktunya sampail ebih dari satu tahun, misalnya sumbang-menyumbang dalam peristiwa perkawinan. Tidak setiap rumah tangga yang membudayakan tradisi sumbang menyumbang. Dalam kenyataannya, proses resiprositas dapat berlangsung sepanjang hidup seorang individu dalam masyarakat, bahkan mungkin sampai diteruskan oleh anak keturunannya. Seorang petani misalnya, sejak kecil dia mewakili orang tuanya ikut gotong-royong dengan tetangganya serta keturunan mereka. Situasi seperti ini dapat terjadi karena komunitas tempat hidup petani tersebut merupakan perwujudan dari nilai-nilai kebersamaan.
Pentingnya syarat adanya hubungan personal bagi aktivitas resiprositas adalah berkaitan dengan motif-motif dari orang melakukan resiprositas. Motif tersebut adalah harapan untuk mendapatkan prestise sosial seperti,misalnya: penghargaan, kemuliaan, kewibawaan, popularitas, sanjungan, dan berkah. Motif tersebut tidak hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang melakukan kerjasama resiprositas, tetapi juga lingkungan dimana mereka berada.
Keberadaan resiprositas juga ditunjang oleh struktur masyarakat yang egaliter yaitu suatu masyarakat yang ditandai oleh rendahnya tingkat stratifikasi sosial, sedangkan kekuasaan politik relatif terdistribusi merata dikalangan warganya. Struktur masyarakat yang egaliter ini memberikan kemudahan bagi warganya untuk menempatkan diri dalm kategori sosial yang sama ketika mengadakan kontak resiprositas.
Menurut Sahlins (1974), ada tiga macam resprositas yaitu resiprositas umum, resiprositas sebanding, dan resiprositas negatif. Resiprositas yang terakhir ini sebenarnya kata lain dari pertukaran pasar atau jual beli dan lebih tepat dibicarakan diluar kesempatan ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa jenis-jenis resiprositas tersebut berhubungan dengan pola-pola organisasi sosial, ukuran kekayaan, dan tipe barang yang dipertukarkan.
Dalam resiprositas umum tersebut tidak ada hokum-hukum yang dengan ketat mengontrol seseorang untuk memberi atau mengembalikan. Hanya moral saja yang mengontrol dan mendorong pribadi-pribadi untuk menerima resiprositas umum sebagai kebenaran yang tidak boleh dilanggar. Orang yang melanggar kerjasama resiprositas ini bisa mendapat tekanan moral dari “masyarakat” atau “kelompok” yang mungkin berupa umpatan, peringatan lisan, atau gunjingan yang dapat menurunkan martabat dalam pergaulan di masyarakat atau kelompoknya.
Sistem resiprositas umum dapat menjamin individu-individu terpenuhi kebutuhannya pada waktu mereka tidak mampu ”membayar” atau mengembalikan atas apa yang mereka terima dan pakai. Sejak lahir manusia telah tergantung dari orang lain, misalnya ibunya. Manusia membutuhkan teman untuk berbagi rasa dalam memecahkan masalah hidup dan menikmati kebahagiaan.
Tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat industri yang relatif baik membuat corak resiprositas umum menjauh dari fungsi pemenuhan kebutuhan pokok. Masyarakat nampaknya menempatkan resiprositas ini sebagai sarana maupun produk dan simbol dari hubungan kesetiakawanan atau cinta kasih. Bentuk resiprositas yang cocok untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah resiprositas simbolik.
Resiprositas simbolik sebagai salah satu bentuk resiprositas umum merupakan suatu adat kebiasaan memberi dan menerima sebagai sarana untuk menjalin hubungan persahabatan semata, tanpa mempunyai makna yang dekat dengan usaha memenuhi kebutuhan ekonomi. Dalam masyarakat sederhana, resiprositas umum cenderung memusat dikalangan orang yang mempunyai hubungan kerabat dekat. Dalam masyarakat desa agraris, meskipun struktur keluarga yang berlaku misalnya keluarga kecil, namun resiprositas di kalangan keluarga dekat nampak lebih kuat dibanding masyarakat kota.
Golongan masyarakat yang nafkahnya dekat dengan batassubstansi seringkali melembagakan resiprositas umum sebagaimekanisme untuk mengatasi kondisi tersebut. Dalam masyarakat ini, orang memberi nilai tinggi terhadap teman dan kerabat. Saling member hasil buruan merupakn kebiasaan yang lazim dalam masyarakat pemburu. Kebiasaan tersebut dapat berfungsi sebagai alat untuk distribusi pangan yang merata. Namun demikian, kebiasaan tersebut dapat memacu aktivitas kegiatan berburu dan meramu di kalangan kelompok pemburu.
Resiprositas sebanding menghendaki barang atau jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sebanding. Kecuali itu dalam pertukaran tersebut disertai pula dengan kapan pertukaran itu berlangsung. Dalam pertukaran ini, masing-masing pihak membutuhkan barang atau jasa dari pertnernya, namun masing-masing tidak menghendaki untuk memberi dengan nilai lebih dibandingkan dengan yang akan diterima. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa individu-individu atau kelompok-kelompok yang melakukan transaksi bukan sebagai satu unit-unit sosial, melainkan sebagai unit-unit sosial yang otonom.
Resiprositas sebanding berada di tengah-tengah antara resiprositas umum dengan resiprositas negatif, kalau resiprositas sebanding bergerak ke arah resiprositas umum, maka hubungan sosialyang terjadi mengarah ke hubungan kesetiakawanan dan ke arah hubungan yang lebih intim, sebaliknya kalau bergerak ke arah resiprositas negatif maka hubungan sosial yang terjadi bersifat tidak setia kawan, yakni masing-masing pihak mencoba untuk mengambil keuntungan dari lawannya.
Resiprositas negatif, transformasi ekonomi di bidang system pertukaran yang terjadi dinegara berkembang merupakan suatu proses yang terus berjalan. Proses ini sementara menggambarkan dua pola besar. Pertama, hilangnya bentuk-bentuk pertukaran tradisisonal diganti oleh bentuk pertukaran modern. Kedua, adalah munculnya dualisme pertukaran. Dengan berkembangnya uang sebagaia alat tukar, maka barang dan jasa akan kehilangan nilsi simbolik yang luas dan beragam maknanya karena uang dapat berfungsi memberikan nilai standart obyektif terhadap barang dan jasa yang dipertukarkan. Hal inilah yang disebut negatif, karena dapat menghilangkan suatu tatanan pertukaran yang telah ada. Tingkat gotong royong pun sekarang semakin berkurang karena kegiatan masyarakat yang semakin money oriented membuat nilai nilaikeikhlasan untuk saling membantupun berkurang.
B. Prinsip Resiprositas versus tuntutan-tuntutan masyarakat internasional
Sejak hak rakyat untuk menentukan sendiri dan hak individu memperoleh pengakuan masyarakat internasional, maka prinsip resiprositas yang semula menjadi landasan pergaulan masyarakat internasional mulai terpengaruh. Prinsip resiprositas menekankan sebuah negara harus memenuhi kewajibannya selama pihak lain juga melakukan kewajiban yang sama, sebaliknya bila negara  lain tidak memenuhi kewajibannya, maka tak ada alasan bagi suatu negara untuk mematuhi kewajibannya.
Hak menentukan nasib sendiri telah mempengaruhi prinsip resiprositas  dalam dua hal. Pertama, hak ini telah menyadarkan suatu negara penindas bahwa dirinya terikat hukum yang  tidak bisa ditolaknya. Hukum yang menandaskan bahwa rakyat yang ditindasnya harus diberi kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri, bahkan demi haknya itu mereka diizinkan untuk mengangkat senjata.
Kedua, hak negara ketiga untuk memberikan perhatian secara absah terhadap nasib rakyat yang ditindas. Dahulu hak ini hanya akan dimiliki suatu negara bila mereka telah mengikat diri dalam satu perjanjian internasional yang membolehkan negaranya untuk ikut campur dalam urusan tersebut.
Demikian pula dengan pengakuan hak-hak individu telah mempengaruhi prinsip resiprositas karena semua negara harus menunjukkan kesungguhan mereka dalam melindungi kebebasan fundamental yang dimiliki individu. Kesungguhan ini harus tampak dari tindakan mereka ketika berhubungan dengan rakyatnya, dan bila terbukti melakukan pelanggaran hak, maka negara lain akan menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran tersebut. Dengan kata lain, setiap negara dapat mendesak suatu negara agar menghentikan tindak pelanggaran hak-hak individu, meskipun individu yang dilanggar haknya tersebut bukan warga negaranya.
Bila semula gagasan resiprositas menempatkan unsur penting pada kebangsaan, sekarang telah digantikan tempatnya oleh keinginan untuk menjaga manusia sebagaimana adanya. Artinya bila suatu negara A memperlakukan warga negara B yang tinggal di negara A dengan baik bukan lagi karena didorong oleh kepentingan agar negara B melakukan hal serupa terhadap warga negara A yang tinggal di negara B, melainkan karena keyakinannya bahwa tindakan tersebut sudah merupakan suatu kewajaran dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan.
Berbicara petani, sama halnya berbicara kaum marginal lain, seperti buruh , tukang las, karyawan kontrak. Mereka di hadapkan pada masalah yang sama : eksploitasi . Kalau buruh, di eksploitasi(baca: di peras) tenaga dan keringatnya oleh majikan dan bos mereka, tukang las di peras tenaga oleh pemilik bengkel, maka petani pun dieksploitasi tenaga dan segenap modal yang dipunya (semisal sepotong tanah ) atau penyewa dari “tuan tanah” . Petani menurut James T scott , sebenarnya mempunyai kekuatan subsistens dan Norma Resiprositas , untuk melawan hegemoni yang memeras (eksploitatif) . Beberapa bentuk perlawanan dan kemarahan yang dilakukan petani, tidak lebih karena hak-haknya tidak hargai dan di perlakukan secara tidak adil, Dan bahkan, penderitaan yang di rasakan mereka telah mengkebiri nilai-nilai moral, yang di junjung begitu tinggi . Sebenarnya, seberapa jauh kekuatan yang di miliki para petani, tersebut mampu menyelesaikan ketidakadilan yang menimbulkan kemarahan moral dari mereka, tergantung dari bagaimana memenuhi kebutuhan dan hak yang harusnya di terima petani. Cenderung lemah Menurut James T Scott, definisi mengenai petani ada dua macam, pertama , ia adalah seseorang pencocok tanam, yang umumnya nya hidup di pedesaan dan produksinya, terutama di tujukan untuk memenuhi kebutuhan –kebutuhan konsumsi keluarganya, ini bersifat sentralistik. Kedua, ia merupakan bagian dari satu masyarakat yang lebih luas (termasuk golongan elit yang bukan petani, dan negara) yang melakukan pungutan-pungutan terhadapnya. Dengan pengertian tersebut, petani dalam melakukan aktivitasnya, secara umum tidak sendirian, karena dia ternyata harus berhadapan dengan sang “tuan tanah” dan negara. Beruntung bagi petani, ketika yang di hadapinya majikan atau tuan tanah yang bermoral baik, karena hak dan kebutuhan hidup yang seharusnya mereka rasakan akan terpenuhi . Tapi kebanyakan, sosok yang di hadapi petani , baik pada level tuan tanah, bahkan negara, memposisikan petani pada situasi yang lemah dan mudah di eksploitasi. Dan, dalam beberapa kasus yang terjadi di negara Asia Tenggara, seperti Viertnam dan Myanmar, menunjukkan adanya pelanggaran moral-ekonomi yang yang di lakukan oleh segelintir golongan elit dan negara. Hal tersebut menjadi sebab terjadinya pemberontakan oleh kaum petani. Posisi petani memang sering menjadi objek kepentingan para elit dan negara, hal ini telah terjadi jauh-jauh hari, seperti pada masa zaman kolonial. Hal inilah yang memunculkan perilaku “bejat” dari para elit penguasa untuk menguras sebesar-besarnya sumber daya alam (kebanyakan yang di garap petani) untuk di angkut ke negaranya tanpa memberi harga yang layak dan upah yang memadai atas tenaga yang dikeluarkan para petani. Sejauh mana pengertian eksploitasi yang di maksud? James scott memberi penjelasan tentang makna ekploitasi, yang berhubungan dengan tindakan moral tadi, dia menyatakan “ada sementara individu, kelompok, atau kelas yang secara tidak adil atau secara tidak wajar menarik keuntungan dari kerja, atau atas kerugian orang lain”, hampir senada dengan scott, dalam kamus populernya, Pius dan M Dahlan mendifinisikan eksploitasi sebagai pemerasan, pengusahaan penyalagunaan dan penarikan keuntungan secara tidak wajar . Dengan pemahaman tersebut, petani benar-benar tidak diberi ruang dan kesempatan, untuk menikmati hasil jerih payahnya, secara layak dan memadai, sehingga tata hubungan yang seharusnya menguntungkan kedua belah pihak di simpangkan lewat keuntungan sepihak . Untuk memudahkan identifikasi terjadinya eksploitasi, Scott menyebutkan dua ciri eksploitasi , pertama dilihat dari “kacamata” sosialis, yakni ekploitasi sebagai satu tata hubungan antar peroangan , kelompok atau lembaga , di satu sisi ada pihak yang di eksploitasi, di pihak lain ada yang mengeksploitasi. Kedua, dilihat dari sudut non sosialis, ekploitasi sebagai distribusi yang tidak wajar dari usaha dan hasilnya, dan hal ini memerlukan adanya satu ukuran tentang keadilan distribusi. Adanya ketidakadilan mengimplikasi suatu norma tentang keadilan. Sebenarnya, ada persoalan serius yang di hadapkan oleh “sosok” eksploitasi ini. Persoalan di sebabkan tentang adanya ukuran standar tentang tata hubungan tersebut yang masih belum bisa dijadikan kesepakatan secara pasti dan mengikat. Bagi satu orang mungkin bisa menerima standar; ukuran (eksploitasi) tersebut, tapi pada pihak yang lain menganggap hal tersebut tidak sah. Scott mencontohkan bagi seseorang yang menganut tradisi marksis, tentu akan mengatakan, teori tentang nilai berdasar tenaga kerja, adalah merupakan landasan konsepsial untuk menilai tingkat eksploitasi. Oleh karena bagi mereka (marksis), semua nilai pada tingkat terakhir, berasal dari tenaga kerja, maka nilai lebih yang di ambil semata-mata atas dasar pemilikan sarana produksi dalam bentuk sewa, laba, dan bunga, merupakan ukuran-ukuran eksploitasi. Akan tetapi teori tersebut tidak berlaku , bagi sebagian orang yang ekploitasi sebagai sebuah tata hubungan obyektif, yang memungkinkan orang, untuk melihat secara seksama, situasi yang tidak begitu eksploitatif, dan atau eksploitasi yang lebih eksploitatif. Pola eksploitasi akan semakin tersamar, bahkan sulit di buktikan, ketika seseorang dihadapkan pada metode deduktif. Menurut Scott tingkat kesulitan pertamanya adalah sampai sejauh mana orang dapat menerima prinsip-prinsip moral yang di jadikan landasan bagi kriteria tentang keadilan itu. Sehingga harus ada kata sepakat antar fihak yang saling berhubungan. Kedua, melemahkan kegunaan analitis akan konsep itu sendiri, dan pada gilirannya, konsep-konsep tadi tidak bisa “jembatan “ antara pengertian yang aprtiori tentang eksploitasi daengan perasaan subyektif dari yang di eksploitasi. Untuk solusi menjelaskan ukuran eksploitasi tersebut Scott menawarkan adanya konsep tentang kesadaran palsu (False consciousness) di sebutkan dengan konsep tersebut andai kata persepsi dapat di ukur secara tepat, maka persepsi-persepsi buruh dan atau petani, yang menurut teori tidak di eksploitasi , tidak sesuai dengan situasi obyektif mere maka mereka di katakan sebagai dalam suatu keadaan palsu. Konsep ini berbicara akan kemungkinan yang sangat riiil ,bahwa, masalah sipelaku bukan sekedar masalah persepsi yang keliru. Konsep tersebut secara otomatis mengabaikan kemungkinan bahwa orang tersebut memang mempunyai ukuran-ukuran sendiri yang langgeng tentang keadilan dan eksploitasi. inilah yang menyebabkan dia menilai situasinya sendiri secara berlainan dengan pengamat deduktif. Dengan kata lain dia mungkin mempunyai moral ekonomi sendiri.
D.Resiprositas Alam dan Manusia
a.  Dominasi Manusia atas Alam
Manusia telah lama dianggap memiliki legitimasi yang kuat untuk menaklukan dan menguasai alam. Pandangan ini bertumpu pada suatu pandangan di mana manusia adalah pusat dari seluruh kehidupan (antroposentrisme); sebuah pandangan khas dari era modern.
Seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, paradigma peradaban modern menempatkan manusia sebagai satu-satunya agen rasional yang memiliki otoritas atas seluruh alam. Dengan begitu, menguasai dan mendominasi alam dapat dibenarkan. Sejalan dengan hal tersebut, segala sesuatu yang terdapat di alam hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Akibatnya kemudian, alam menjadi kehilangan nilai pada dirinya sendiri, ia tak lebih daripada sarana belaka bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Alam dianggap pertama-tama sebagai instrumen teknis belaka dari kebutuhan hidup manusia, baru kemudian diperhatikan sejauh ia tidak merugikan kepentingan tersebut.
Akan tetapi, apa yang terjadi kemudian? Sampai pada satu saat ketika alam tidak dapat menolerir lagi represi, dominasi, dan eksploitasi sedemikian rupa atas dirinya, ia menumpahkan kesahnya dalam berbagai macam bentuk, yang memakan biaya kemanusiaan cukup fatal. Alam secara langsung mengoreksi dominasi manusia terhadap dirinya.
Yang terjadi di Situ Gintung dalam amatan saya merupakan salah satu contoh dari koreksi alam atas dominasi manusia yang telah mengakumulasi.
b.  Bekerja Sama dengan Alam
Untuk keluar dari pandangan semacam itu diperlukan sebuah pemahaman yang menekankan pada relasi timbal-balik yang saling menguntungkan antara manusia dan alam. Manusia harus mampu memahami bahwa alam adalah entitas yang memiliki nilai pada dirinya sendiri. Manusia pun perlu menyadari bahwa kita harus dapat bekerja sama dengan alam alih-alih berusaha untuk terus-menerus menaklukan dan mengeksploitasinya.
Berseberangan dengan antroposentrisme, pemahaman ini berpusat pada suatu gagasan bahwa alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai di dalam komunitas kehidupan bumi. Alam mempunyai nilai karena ada kehidupan di dalamnya.
Pemahaman ini bersumber dari sebuah kesadaran bahwa kehidupan adalah hal yang sakral. Karena itu, setiap kehidupan di muka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama. Implikasinya kemudian, alam pun adalah subjek moral. Artinya, alam merupakan suatu entitas yang perlu dihormati, dihargai, dan jika hendak mengolah kekayaannya harus melalui suatu pendekatan kerja sama, alih-alih penaklukan ataupun dominasi.
Dengan begitu, manusia tidak lagi mengeksploitasi alam secara membabi buta hanya untuk menyakini bahwa manusia lebih superior atas dasar pertimbangan teknis ekonomis. Menurut hemat saya, lebih baik kiranya untuk mengedepankan suatu perspektif bahwa alam adalah mitra kerja manusia dalam mewujudkan kebaikan keduanya. Sebuah win-win solution bagi alam dan manusia.
Pendekatan semacam itu sebenarnya sudah dimiliki oleh kearifan lokal yang tersimpan dalam kebudayaan-kebudayaan masyarakat asli. Ini kiranya dapat dikaji dan diangkat kembali. Dan yang tak kalah pentingnya adalah mendesakan pemahaman hormat serta berkerja sama dengan alam ke dalam setiap pengambilan kebijakan  publik, perencanaan pembangunan, sampai pada tindak tanduk keseharian kita. Karena pada akhirnya ternyata kita tidak lebih superior daripada alam. Alam memiliki bahasa dan hukumnya sendiri. Dan merupakan bagian kita untuk memahami dan bekerja sama dengannya.
Inti hukum Romawi kontrak adalah maksim pacta sunt servanda, yang dijadikan ketentuan dasar iktikad baik. Menurut formulasi  Justianus, pacta sunt servanda mempertahankan prinsip: “What is so suitable to the good of mankind as to observe those things which  parties have agreed upon”. Dengan demikian, fides bermakna sebagai keyakinan akan perkataan seseorang.
Bona fides diterapkan untuk memastikan isi kontrak. Kepercayaan akan perkataan seseorang merupakan prasyarat bagi suatu  hubungan hukum, dan Cicero menggambarkannya sebagai fundamentum iustitiae. Bona fides tidak hanya menuntut pemenuhan  pelaksanaan kontrak itu sendiri, tetapi juga mensyaratkan agar para pihak bertindak secara jujur, yang mempengaruhi jalannya pelaksanaan kontrak.
Lombardi dan Wieacker mempercayai ajaran fides itu sebagai perlindungan bagi kepentingan seseorang agar orang memenuhi  janjinya, sehingga dalam fides dikombinasikan dua makna, yakni trust dan trustworthiness. Iktikad baik tersebut tidak hanya mengacu  kepada iktikad baik para pihak, tetapi harus pula mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sebab iktikad baik  merupakan bagian dari masyarakat.
Iktikad baik ini akhirnya mencerminkan standar keadilan atau kepatutan masyarakat. Dengan  makna yang demikian itu menjadikan standar iktikad baik sebagai suatu universal social force yang mengatur hubungan antar sosial mereka, yakni setiap warganegara harus memiliki kewajiban untuk bertindak dengan iktikad baik terhadap semua warganegara. Ini  merupakan konsepsi objektif, yang secara universal diterapkan dalam semua transaksi.
Hal ini sesuai dengan postulat Roscoe Pound yang menyatakan “Men must be assume that those with whom they deal in general  intercourse of society will act in good faith and will carry out their undertaking according to the expectation of the community”. Dengan demikian, jika seseorang bertindak dengan iktikad baik sesuai dengan standar objektif yang didasarkan pada kebiasaan sosial,  maka orang lain juga harus bertindak yang serupa terhadap dirinya.
Di dalam hukum Kanonik, kewajiban iktikad baik menjadi suatu moral yang universal yang secara individual ditentukan oleh kejujuran  dan  kewajiban seseorang kepada Tuhan. Setiap individu harus memegangteguh atau mematuhi janjinya. Para sarjana hukum  Kanonik mengkaitkan iktikad baik dengan good conscience.
Mereka memasukkan makna religius faith ke dalam good faith dalam  pengertian hukum. Dengan demikian, konsep iktikad baik dalam hukum Kanonik menggunakan standar moral subjektif yang  didasarkan pada kejujuran individual. Konsep ini jelas berlainan dengan konsep iktikad baik dalam hukum Romawi yang memandang iktikad baik sebagai suatu universal social force. Asas iktikad baik ini muncul kembali pada komunitas pedagang (mercantile community) sepanjang abad ketujuh hingga keduabelas. Selain dipengaruhi oleh aspek religius, perkembangan iktikad  baik juga dipengaruhi pertumbuhan komunitas pedagang pada abad duabelas yang memerlukan iktikad baik di dalam hubungan diantara mereka.
Ini berkaitan dengan iktikad baik dalam hubungan komersial yang diserap hukum merkantil (lex mercatoria) Eropa pada abad sebelas  dan duabelas. Pada waktu itu kelompok pedagang itu memerlukan seperangkat hukum merkantil baru yang dikembangkan untuk  kebutuhan mereka. Hukum merkantil yang berkembang saat itu tidak hanya mengatur jual beli barang, tetapi juga mencakup berbagai    aspek lain dalam transaksi komersial, seperti pengangkutan, asuransi, dan pembiayaan. Untuk memfasilitasi  pertumbuhan sektor komersial tersebut, pedagang Eropa tersebut meminta penekanan adanya suatu fokus baru bagi hak yang bersifat  timbal balik.
Fokus resiprositas ini yang diinginkan adalah adanya suatu transaksi komersial yang fairly exchange diantara para pihak yang dimanifestasikan oleh pembagian keuntungan dan tanggung jawab yang seimbang. Prinsip resiprositas menjadi jantung atau  inti hukum merkantil pada abad sebelas dan duabelas. Resiprositas sendiri dipahami dalam makna saling memberi dan menerima    (take and give) dalam seluruh transaksi komersial yang mencakup seluruh keuntungan dan tanggung.
F. Teori Keadilan John Rawls
Rawls mengemukakan suatu ide dalam bukunya A Theory of Justice bahwa teori keadilan merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menghasilkan keadilan. Ada prosedur-prosedur berfikir untuk menghasilkan keadilan.
Teori Rawls didasarkan atas dua prinsip yaitu Ia melihat tentang Equal Right dan juga Economic Equality. Dalam Equal Right dikatakannya harus diatur dalam tataran leksikal, yaitu different principles bekerja jika prinsip pertama bekerja atau dengan kata lain prinsip perbedaan akan bekerja jika basic right tidak ada yang dicabut (tidak ada pelanggaran HAM) dan meningkatkan ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Dalam prinsip Rawls ini ditekankan harus ada pemenuhan hak dasar sehingga prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain ketidaksetaraan secara ekonomi akan valid jik tidak merampas hak dasar manusia.
Bagi Rawls rasionalitas ada 2 bentuk yaitu Instrumental Rationality dimana akal budi yang menjadi instrument untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi dan kedua yaitu Reasonable, yaitu bukan fungsi dari akal budi praktis dari orang per orang. Hal kedua ini melekat pada prosedur yang mengawasi orang-orang yang menggunakan akal budi untuk kepentingan pribadinya untuk mencapai suatu konsep keadilan atau kebaikan yang universal. Disini terlihat ada suatu prosedur yang menjamin tercapainya kebaikan yang universal, dengan prosedur yang mengawasi orang per orang ini akan menghasilkan public conception of justice.
Untuk itu Rawls mengemukakan teori bagaimana mencapai public conception, yaitu harus ada well ordered society (roles by public conception of justice) dan person moral yang kedunya dijembatani oleh the original position. Bagi Rawls setiap orang itu moral subjek, bebas menggagas prinsip kebaikan, tetapi bisa bertolak belakang kalau dibiarkan masyarakat tidak tertata dengan baik. Agar masyarakat tertata dengan baik maka harus melihat the original position. Bagi Rawls public conception of justice bisa diperoleh dengan original position. Namun bagi Habermas prosedur yang diciptakan bukan untuk melahirkan prinsip publik tentang keadilan tetapi tentang etika komunikasi, sehingga muncul prinsip publik tentang keadilan dengan cara consensus melalui percakapan diruang public atau diskursus.
Ada beberapa basic assumption agar dalam masyarakat bekerja sama dalam kondisi Fair, pertama, anggota masyarakat tidak memandang tatanan sosial masyarakat tidak berubah. Masyarakat harus menuju keadilan, sehingga masyarakat terbuka pada perubahan, terutama perubahan struktur sosial. Kedua, kerjasama dibedakan dengan aktifitas yang terkoordinasi hal ini dapat dilihat dari :
1.   Bentuk kerjasama selalu berpijak pada keadilan sedangkan coordinated activity berpijak pada efektifitas/ efisiensi
2.  Kerjasama (organizing principle) aturan dibuat untuk mengatur anggota-anggotanya (mengikat, mengatur kepentingan-kepentingan anggota) sedangkan dalam coordinated activity aturan dibuat untuk kepentingan yang membuat aturan.
3.  Dalam kerjasama (organizing principle) harus sah secara publik (harus disepakati oleh partisipan) sedangkan dalam coordinated activity tidak ada organisasi, aturan tidak harus sah secara publik.
Ketiga, gagasan kerjasama yang fair mengandaikan kebaikan akan keuntungan partisipan (partisipan punya gagasan sendiri dan bertemu dengan gagasan lainnya dengan cara rasionalitas) bukan masing-masing pihak melepaskan kepentingan tapi masing-masing ingin punya keuntungan yang rasional (karena ingin mendapatkan untung maka ada kerjasama, kalau saling mengalah tidak akan tercapai kerjasama)
Resiprositas dalam kerjasama yang Fair mempunyai arti bukan meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan bersama dan juga bukan merumuskan aturan berdasarkan kekinian dan ekspektasinya.
Untuk mencapai Keadilan mengukur keuntungan atau hasil pengukuran keuntungan bukan bertolak dari orang per porang (particular) tetapi bertolak dari pure procedural of justice. Ide dari resiprositas adalah ada pada different principles yang mempunyai fungsi untuk mengijauantahkan ide resiprositas. Prinsip perbedaan merupakan peningkatan kekinian dan ekspektasi orang yang beruntung harus sama dengan kekinian dan ekspektasi orang yang kurang beruntung (resiprositas)
Resiprositas bukan merupakan imparsilaitas atau pun win win solution, juga bukan marxisme yang menekankan pada sama rasa sama rata, atau pun liberalisme yang dilihat sebagai ideology yang melihat tidak ada kerjasama tapi interaksi (ada equilibrium). Resiprositas bukan doktrin melainkan sebuah gagasan tentang prosedur untuk memperoleh keadilan yang resiprokal. Manusia dapat menerima keadilan dengan menganut system kerjasama atau keadilan yang fair.
Rawls percaya bahwa ada kemampuan orang untuk revising. Person moral adalah warga negara yang sama dalam 2 daya moral. Pertama, membentuk, merevisi, menjalankan gagasan keuntungan atau keadilan yang rasional untuk kebaikan atau tujuan final. Kedua, daya untuk memahami, menerapkan dan bertindak pada kesepakatan yang telah dicapai yang mencerminkan keikhlasan untuk mencapai kepentingan atau keuntungan bersama.


K e s i m p u l a n
Resiprositas berarti pertukaran timbal balik antar individu atau antar kelompok yang selalu ada dalam setiap lapisan masyarakat baik antar individu maupun antar kelompok. bahwa tanpa adanya hubungan simetris antar kelompok atau antar individu, maka resiprositas cenderung tidak akan berlangsung. Hubungan simetrisyang dimaksud ini merupakan hubungan sosial, masing-masing pihak menempatkan diridalam kedudukan dan peranan yang sama saat proses pertukaran berlangsung.
Pentingnya syarat adanya hubungan personal bagi aktivitas resiprositas adalah berkaitandengan motif-motif dari orang melakukan resiprositas. Motif tersebut adalah harapan untuk mendapatkan  prestise  social.
Menurut Sahlins (1974), ada tiga macam resprositas yaitu resiprositas umum, resiprositas sebanding, dan resiprositas negatif.


D a f t a r  P u s t a k a

1 komentar:

iong mengatakan...

teori resiprositasnya dari buku apa ya? thanks

Posting Komentar