Jumat, 07 Desember 2012

Dimensi Makro Dan Mikro Dalam Pembangunan


Tugas kelompok
Dimensi Makro Dan Mikro Dalam Pembangunan
Kelompok 5
Andi Fitriani
Kartini Kadir
Nuning Nurfadilla
Magfira Febrianti
Andi Febrianti
Zaenal L
Umar Hadi

Pendidikan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Makassar
2011
KATA PENGANTAR
            Segala puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun guna melengkapi tugas mata kuliah Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat pada Universitas Negeri Makassar. Adapun judul pada makalah ini adalah DIMENSI MAKRO DAN MIKRO DALAM PEMBANGUNAN”.
Dalam penyusunan makalah ini, dengan kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak, kami telah berusaha untuk dapat memberikan serta mencapai hasil yang semaksimal mungkin dan sesuai dengan harapan, walaupun didalam pembuatannya kami menghadapi berbagai kesulitan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang kami miliki.
Kami menyadari bahwa penulisan dan pembuatan karya ilmiah ini, masih jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu saran dan kritikan yang membangun sangat kami butuhkan untuk dapat menyempurnakan dimasa yang akan datang.
Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kelompok kami, teman-teman maupun pihak lain yang berkepentingan.
Makassar,     Mei 2011

KELOMPOK  5

Daftar Isi
KATA PENGANTAR
PEM BAHASAN
A.  Dimensi Makro dalam Pembangunan
1.     Pendekatan Pertumbuhan (Growth Approach)
2.    Pendekatan Pertumbuhan dan Pemerataan (Redistribution of Growth Approach)
3.     Paradigma Ketergantungan (Dependence Paradigm)
4.    Tata Ekonomi Internasional Baru (The New International Economic Order)
5.     Pendekatan Kebutuhan Pokok (The Basic Needs Approach)
6.    Pendekatan Kemandirian (The Self-Relince Approach)
B.   Dimensi Makro dalam Pembangunan
1.     Pendekatan Perilaku (Behaviorism)
2.    Pendekatan Psikoanalisis
3.     Pendekatan Humanistik
PENUTUP (Kesimpulan)
DAFTAR PUSTAKA
PEMBAHASAN
Upaya pembangunan yang dilakukan selama ini, dengan berbagai bentuk dan variasi, pada dasarnya dilakukan guna meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Terkait dengan luas lingkup dari kesejahteraan masyarakat ataupun kesejahteraan sosial ini, Spicker (1995:3) menggambarkan sekurang-kurangnya ada lima aspek utama yang harus diperhatikan. Kelima aspek ini dikenal dengan nama “big five”, yaitu:
1.     kesehatan;
2.    pendidikan;
3.     perumahan;
4.    jaminan sosial; dan
5.     pekerjaan sosial.
Selain Spicker, banyak ahli lain mengemukakan berbagai aspek yang perlu dipertimbangkan dalam mengkaji indikator kesejahteraan sosial, misalnya aspek fisik, aspek ketenagakerjaan dan aspek ekonomi.
Disamping berbagai aspek diatas, salah satu aspek yang berbeda dan terkait dengan indikator kesejahteraan sosial adalah aspek yang dikemukakan Zastrow (1996:4), yaitu aspek rekreasional. Maka, bila digabungkan, sekurang-kurangnya ada sembilan aspek (indikator besar) yang perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare policy maker), yaitu:
1.     aspek fisik (bangunan dan infrastuktur);
2.    aspek perumahan;
3.     aspek pendidikan;
4.    aspek kesehatan
5.     aspek ketenagakerjaan;
6.    aspek ekonomi;
7.    aspe jaminan sosial;
8.    aspek rekreasional; dan
9.    aspek pekerjaan sosial (terkait didalamnya adalah pembahasan tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)).
Selain berbagai aspek diatas, maka dalam proses pembangunan baik yang terjadi di dunia internasional maupun di Indonesia, pada dasarnya dipengaruhi oleh sekurang-kurangnya dua dimensi. Dimensi pertama adalah dimensi makro yang menggambarkan bagaimana institusi negara melalui kebijakan dan peraturan yang dibuatnya memengaruhi proses perubahan di suatu masyarakat, sedangkan dimensi yang kedua adalah dimensi makro, dimana individu, keluarga dan keluarga kecil dalam masyarakat memengaruhi proses pembangunan itu sendiri.
A.  Dimensi Makro dalam Pembangunan
Ada beberapa pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan ‘utama’ dalam teori pembangunan. Hadad (1980:25-41) menyarikan dari apa yang dijabarkan oleh Troeller mengungkapkan kembali kelima pendekatan tersebut, yaitu pendekatan pertumbuhan; perdekatan pertumbuhan dan pemerataan; paradigma ketergantungan; pendekatan kebutuhan pokok; dan pendekatan kemandirian.
1.   Pendekatan Pertumbuhan (Growth Approach)
Awal pembahasan tentang pembangunan, pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, terasa adanya suatu optimisme dan harapan yang besar pada konsep yang disebut ‘pembangunan’ ini.
Dalam penerapan resep yang dianggap mujarab untuk negara-negara kaya dibelahan “utara”, stategi untuk melakukan pembangunan dilakukan dengan memerhatikan dan menggunakan penerapan ICOR (Intremental Capital Output Ratio) dan laju pertumbuhan ekonomi yang dikehendaki, sebagai indikator utama.
Rostow (1960) memperkenalkan lima tahap pembangunan ekonomi yang akan dilalui oleh setiap negara, yaitu:
Tahap 1. Masyarakat tradisional (traditoinal society)
Ekonomi didominasi oleh berbagai kegiatan subsistem, dimana output lebih banyak dikonsumsi oleh produsen dari pada diperdagangan.
Tahap 2. Tahap transisi (traditional stage)
Tahap ini juga disebut dengan nama tahap prekondisi untuk tinggal landas (the preconditions for takeoff). Pada tahap  ini terjadi perdagangan eksternal, antarnegara, terutama yang berkaitan dengan produk-produk primer.
Tahap 3. Tahap tinggal landas (take off)
Pada tahap tinggal landas ini, industrialisasi meningkat sehingga terjadi peralihan pekerjaan dari sektor pertanian kesektor manufaktur. Transisi ekonomi ini akan diikuti oleh evolusi dari institusi sosial dan politik searah dengan perubahan yang ada.
Tahap 4. Tahap menuju kematangan (drive to maturity)
Pada tahap ini kehidupan ekonomi mencapai keragaman ke berbagai area sehingga mendorong munculnya inovasi teknologi yang pada akhirnya akan meningkatkan keragaman kesempatan untuk berinvertasi.
Tahap 5. Tahap konsumsi massa yang tinggi (high mass consumption)
Pada tahap ini kehidupan ekonomi sudah meningkat pada konsumsi massa (mass consumption), dimana jumlah konsumen meningkat dan jumlah keragaman instustri juga meningkat. Oleh karena itu, sektor jasa menjadi semakin dominan perannya pada tahap ini.
2.  Pendekatan Pertumbuhan dan Pemerataan (Redistribution of Growth Approach)
Adelman dan Morris (1973:12-106) mengembangkan tiga tipe indikator yang dapat digunakan sebagai indikator dasar untuk mengukur perkembangan pembangunan suatu negara. Indikator-indikator utama tersebut, yaitu: (1) indikator-indikator suatu budaya (sociocultural indicators); (2) indikator-indikator politik (political indicators); dan (3) indikator-indikator ekonomi (economic indicator). Masing-masing indikator tersebut mempunyai sejumlah subindikator, misalnya:
a.    Indikator sosial budaya mempunyai tiga belas subindikator, antara lain: besar-tidaknya sektor pertanian tradisional dinegara tersebut (the size of the traditional agricultural sector), meluas atau tidaknya dualisme (the extent of dualisme), tinggi rendahnya tingkat urbanisasi (the extent of urbanization), dan penting atau tidaknya kelas menengah (the importance of the middle class).
b.    Indikator-indikator politik mempunyai tujuh belas subindikator antara lain: tingkat integrasi dan semangat persatuan bangsa (the degree of national integration and sence of national unity), tingkat sentralisasi kekuasaan politik (the degree of centralisation ofpolitical power), tingkat keluasan partisipasi politik (the extent of political partisipation), dan tingkat kebebasan kelompok oposan dan pers (the freedom of political opposition and the press).
c.    Indikator-indikator ekonomi mempunyai delapan belas subindikator, antara lain: Pendapatan Nasional Bruto per kapita (per capita GNP), tingkat pertumbuhan riil dari Pendapatan Nasional Bruto (per capita GNP), keterbengkalaian sumber daya alam (abundance of natural resources), rerata tingkat penanaman modal bruto (gross investment rate), dan modernisasi industri (modernizationof industry).
3.   Paradigma ketergantungan (Dependence Paradigm)
Konsep dependence (ketergantungan) ini dipelopori oleh Cardoso (dimunculkan sekitar tahun 1970-an) karena ia melihat kelemahan dari konsep pembangunan yang ada pada saat itu.
Kelemahan yang pertama disebabkan perlunya komponen-komponen dari luar negeri untuk menggerakkan kegiatan industri, hal ini menyebabkan ketergantungan dari segi teknologi dan kapital. Kelemahan yang kedua disebabkan oleh distribusi pendapatan Amerika Latin menimbulkan perbatasan akan permintaan terhadap barang hasil industri yang mampu dinikmati sekelompok kecil kaum elite, dan setelah permintaan terpenuhi, maka proses pertumbuhan berhenti (Hadad, 1980:31).
Paradigma ketergantungan mencoba menjawab:
a.    mengapa bantuan yang sudah begitu besar diberikan oleh negara-negara dunia pertama tidak memberikan hasil yang bermakna (significant) pada proses pembangunan negara dunia ketiga?; dan
b.    mengapa masih banyak negara yang  belum ataupun sedang berkembang (under-developed dan developing countries), terutama di Amerika Selatan, yang belum mampu mengelolah pembangunan negara mereka tanpa diberikan dukungan oleh negara-negara donor?.
4.  Tata Ekonomi Internasional Baru (The New International Economic Order)
Pada awal 1972, ‘the Club of Rome’ memunculkan hasil studi mereka yang berjudul the Limits to Growth. Studi ini mengemukakan prediksi akan munculnya bencana pada kurun waktu seratus tahun yang akan datang bila pertumbuhan ekonomi, pertambahan ekonomi, pertambahan penduduk, perturunan eksploitasi bahan-bahan mentah, dan peningkatan polusi lingkungan masih tetap sama dengan tingkat pertumbuhan pada 1970-an.
Terkait dengan isu tersebut, negara-negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC menambahkan pula bahwa ancaman akan tetap muncul bila dominasi dari perusahaan-perusahaan multinasional Multi Nasional Corporations (MNC) terhadap negara-negara yang belum dan sedang berkembang tetap berada dalam kondisi yang sama dengan kondisi pada 1970-an. Negara-negara OPEC ini mengemukakan bahwa “akar dari stagnasi pertumbuhan ekonomi internasional berasal dari bagaimana negara-negara industri tersebut mengeksploitasi hubungan kerjasama mereka dengan negara-negara dunia ketiga” (Hadad, 1980:33-34).
5.   Pendekatan Kebutuhan Pokok (The Basic Needs Approach)
Pendekatan ini tumbuh karena kebutuhan akan adanya teori pembangunan yang baru dapat digunakan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial pada negara-negara dunia. Pendekatan ini juga berusaha menghadapi prediksi dari Club of Rome yang pesimistik.
Dalam pendekatan kebutuhan pokok terdapat proposisi bahwa “kebutuhan pokok tidak mungkin dapat dipenuhi jika mereka masih berada garis kemiskinan serta tidak mempunyai pekerjaan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik”. Karena itu, ada tiga sasaran yang dicoba kembangkan secara bersamaan:
a.    membuka lapangan kerja;
b.    meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
c.    memenuhi kebutuhan pokok masyarakat (Hadad, 1980:37).
6.  Pendekatan Kemandirian (The Self-Reliance Approach)
Hadad (1980:39) menyataan bahwa pendekatan kemandirian (self reliance) dalam berbagai literatur juga dikenal dengan nama pendekatan self sustained. Pendekatan ini muncul sebagai konseuensi logis dari berbagai upaya negara dunia ketiga untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap negara-negara industri. Soedjatmoko (dikutip oleh Hadad, 1980) melihat bahwa konsep kemandirian menyajikan dua perspektif, yang pertama adalah penekanan yang lebih diutamakan pada hubungan timbal balik dan salingmenguntungkan dalam perdagangan dan kerjasama pembangunan, sedangkan yang kedua adalah lebih mengandalkan pada kemampuan dan sumber daya sendiri untuk kemudian dipertemukan dengan perdebatan internasional tentang pembangunan.
Penerapan konsep kemandirian tentu membawa konsekuensi akan perlunya diterangkan pula pendekatan kebutuhan pokok bagi kelompok miskin, serta stategi pemerataan pendapat dan hasil pembangunan.
Disamping pendekatan pembangunan yang dikemukakan Troeller yang dikutip oleh Hadad, sebenarnya ada pula pendekatan lain yang juga memengaruhi pembangunan kesejahteraan sosial (social development appoach), pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development), ataupun pendekatan pembangunan berkesinambungan (sustainable development).
B. Dimensi Mikro dalam Pembangunan
Perubahan yang akan dilakukan terhadap masyarakat tidak dapat diepaskan dengan upaya mengubah manusia sebagai suatu keutuhan. Oleh karena itu, dalam upaya mengoptimalkan pembangunan yang akan dan sedang dilaksanakan, pengenalan akan hakikat manusia sebagai aktor penting dalam pembangunan tentunya mempunyai sumbangan tersendiri, paling tidak dan dapat menambah wawasan ketika akan menerapkan suatu program pada masyarakat.
Salah satu disiplin ilmu yang sering dikaitkan dalam upaya memahami manusia adalah disiplin psikologi, yang kajiannya memfokuskan antara lain pada tingkah laku dan proses mental manusia yang terkait dengan lingkungan sekitarnya. Dalam psikologi, terdapat tiga pendekatan besar yang banyak mempengaruhi perkembangan dunia psikologi secara umum. Maslow dalam Santrock (2000:10) menyatakan bahwa ketiga pendekatan utama tersebut adalah: (1) pendekatan perilaku (behaviourism); (2) psikonalisis; (3) pendekatan humanistik.
1.   Pendekatan Perilaku (Behavioourism)
Pada tahun 1898, Ivan Pavlov, melakukan eksperimen terhadap anjing dalam suatu ruangan guna melihat tingkah laku yang nyata (overt behaviour) anjing tersebut. Eksperimen Pavlov ini dikenal dengan nama pengondisian klasik (classical conditioning). Pengondisian klasik ini merupakan suatu proses belajar melalui pembiasaan (conditioning) terhadap suatu objek dengan menitik beratkan pada proses pemberian rangsang (stimuli) guna mendapatkan suatu respons tertentu (stimulus and response relation ship) tanpa menggunakan penguat (reinforcement).
Eksperimen yang dilakukan Pavlov ini menarik dan mengilhami seorang psikolog muda bernama John B. Watson. Watson (Santrock, 2000:8) meyakini bahwa kajian tentang pemikiran yang disadari (conscious thought)dan proses kejiwaan (mental processes)tidaklah bisa diukur secara objektif (lacked objectivity and could not be measured).
Watson mendefinisikan pendekatan yang ia kembangkan sebagai kajian ilmiah tentang perilaku dan determinan lingkungan yang terkait dengan perilaku tersebut. Kajian ini harus bisa diukur dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan mempertimbangan aspek objektivitas. Perilaku yang dimaksud oleh Watson disini adalah perilalu yang kasat mata (Observable behaviour).
Dari hal diatas, terlihat bahwa Watson mencoba melakukan revolusi cara berfikir dalam psikologi.
Pandangan dasar dari kelompok behavioris adalah melihat manusia sebagai makhluk yang reaktif dan berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga banyak tingkah laku manusia dikontrol oleh faktor-faktor yang datang dari luar. Tingkah aku seseorang lebih banyak merupakan hasil belajar dari lingkungan, baik itu melalui pembiasaan (conditioning) maupun melalui peniruan (imitation and modelling). Berdasarkan pandangan ini, unsur-unsur internal kepribadian dirasakan kurang memengaruhi tingkah laku individu. Unsur lingkunganlah yang memberikan pengaruh terbesar dalam kehidupan individu.
2.  Pendekatan Psikoanalisis
Pendekatan ini pada mulanya dikembangkan oleh Sigmund Freud (1856-1938), seorang dokter yang biasanya menangani pasien yang menderita kelainan jiwa (mental illness). Berlainan dengan beberapa pionir psikolog terdahulu, Freud lebih tertarik dengan aspek-aspek yang menyebabkan seseorang berperilaku tidak normal (abnormal behaviour) yang terjadi pada seseorang. Ia mengembangkan suatu metode terapi yang dikenal dengan nama psikoanalisis (psyhoanalysis). Dari beberapa pasien yang ia amati, ia mengembangkan suatu pemikiran bahwa sebagian masalah kejiwaan (mental problems)yang dihadapi seseorang lebih banyak disebabkan oleh konflik emosi yang tidak disadari oleh orang tersebut.
Pandangan dasar kelompok psikoanalis yang pada awalnya menitik beratkan pada fungsi Id (tradisional psikoanalis), dalam perkembangannya (neo-psikoanalis) mulai bergeser dengan lebih melihat fungsi ego sebagai pusat kepribadian individu. Ego tidak dipandang hanya sebagai fungsi pengarahan perwujudan id, melainkan dilihat sebagai fungsi pokok yang bersifat rasional dan bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial individu.
3.   Pendekatan Humanistik
Pendekatan humanistik ini juga dikenal dengan nama pendekatan fenomenologis. McMahon (1986:25) melihat bahwa pendekatan fenomenlogis (phenomenology) ini dapat dilihat dari dua akar kata, yaitu logy yang bermakna “kajian tentang sesuatu” dan kata phenomenon  yang berarti “sesuatu keadaan yang selalu berubah.” Pendekatan fenomenologis ini melihat bahwa setiap individu adalah unique, berbeda satu dengan yang lainnya, meskipun terjadi perubahan terus-menerus di lingkungan mereka. Apapun yang terjadi pada lingkungan di mana ia berada, individu akan melakukan penyeleksian sesuai dengan nilai dan kebutuhan dari orang tersebut. Sementara itu, istilah humane dalam pendekatan humanistik mengacu pada keyakinan terhadap adanya nilai-nilai kebaikan dan keinginan untuk mencapai yang terbaik (Basic goodness). Hal ini dimiliki oleh setiap manusia sehingga pendekatan ini melihat setiap manusia pada hakikatnya mempunya kemampuan untuk mencapai hal yang terbaik tersebut.
Pendekatan perilaku melihat lingkungan begitu dominan terhadap munculnya perilaku tertentu setiap individu, sedangkan pendekatan humanistik melihat bahwa adanya dorongan internal (internal force) individu yang membuat seseorang dapat menentukan di lingkungan mana ia berada (proses penyeleksian lingkungan).
Maslow , menitikberatkan adanya potensi positif pada setiap individu (the positive potential of the individul). Hal yang perlu dilakukukan untuk mencapai tingkatan yang lebih baik adalah melalui mengembangkan kondisi lingkungan yang hangat dan mendukung (warm and supporting situasion) setiap manusia untuk berkembang.
Pandangan dari kelompok humanistik ini melihat manusia sebagai makhluk yang rasional dan memiliki dorongan untuk mengarahkan dirinya ketujuan yang positif. Manusia memiliki kemampuan mengontrol dirinya sendiri dan bila situasi memungkinkan serta mereka diberikan kesempatan, setiap individu dapat dikembangkan menjadi pribadi yang lebih positif.
PENUTUP (Kesimpulan)
Berdasarkan beberapa pendekatan dalam psikologi, dapat terlihat bahwa, manusia  merupakan sumber daya tersendiri dalam pembangunan. Ia merupakan unsur penggerak utama dan mempunyai kemampuan untuk memanipulasi dan mengintervensi sumber daya alam. Meskipun demikian, dalam kerangka pembangunan manusia Indonesia, perkembangan unsur yang ada diatas dilengkapi lagi dengan keterkaitan manusia dengan Maha Penciptanya sehingga dalam kerangka pembangunan nasional, perubahan terhadap komunitas manusia juga harus dipikirkan secara lebih luas dengan mencoba mengaitkan dengan unsur yang Mahatinggi Kekuasaannya. Dalam pandangan terhadap manusia seperti ini, kerangka pembangunan nasional Indonesia menjadi semakin kompleks dan abstrak karena mencoba membangun unsur-unsur yang “Vertikal” dan “Horizontal” dalam kehidupan tanpa melakukan sekularisasi seperti yang dilakukan pada banyak negara barat.
Pembangunan manusia Indonesia dalam upaya memperbaiki dan memenuhi kabutuhan material dan spiritual (lihat pula Undang-Undang Kesejahteraan Sosial) manusia Indonesia harus pula mempertimbangkan apa yang digambarkan dalam ilustrasi diatas (hubungan vertikal antara makhluk dan yang memciptakannya) sebagai salah satu kriteria keberhasilan dari upaya pemberdayaan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Isbandi Rukminto.et.al., 2007, Intervensi  Komunitas dan Pengembangan Masyarakat. Jakarta: Rajawali pers.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

makasih cantik atas artikel nya

Posting Komentar