Tugas
kelompok
Dimensi Makro Dan Mikro Dalam Pembangunan
Kelompok 5
Andi Fitriani
Kartini Kadir
Nuning Nurfadilla
Magfira Febrianti
Andi Febrianti
Zaenal L
Umar Hadi
Pendidikan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Makassar
2011
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa
atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini. Makalah ini disusun guna melengkapi tugas mata kuliah Pembangunan dan
Pemberdayaan Masyarakat pada Universitas Negeri Makassar. Adapun judul pada makalah ini
adalah “DIMENSI MAKRO DAN MIKRO DALAM PEMBANGUNAN”.
Dalam penyusunan makalah ini, dengan kerja keras dan
dukungan dari berbagai pihak, kami telah berusaha untuk dapat memberikan serta
mencapai hasil yang semaksimal mungkin dan sesuai dengan harapan, walaupun
didalam pembuatannya kami menghadapi berbagai kesulitan karena keterbatasan
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang kami miliki.
Kami menyadari bahwa penulisan dan pembuatan karya
ilmiah ini, masih jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu saran dan kritikan
yang membangun sangat kami butuhkan untuk dapat menyempurnakan dimasa yang akan
datang.
Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi kelompok kami, teman-teman maupun pihak lain yang berkepentingan.
Makassar, Mei 2011
KELOMPOK 5
Daftar Isi
KATA PENGANTAR
PEM BAHASAN
A. Dimensi
Makro dalam Pembangunan
1. Pendekatan
Pertumbuhan (Growth Approach)
2. Pendekatan
Pertumbuhan dan Pemerataan (Redistribution
of Growth Approach)
3. Paradigma
Ketergantungan (Dependence Paradigm)
4. Tata
Ekonomi Internasional Baru (The New
International Economic Order)
5. Pendekatan
Kebutuhan Pokok (The Basic Needs Approach)
6. Pendekatan
Kemandirian (The Self-Relince Approach)
B. Dimensi
Makro dalam Pembangunan
1. Pendekatan
Perilaku (Behaviorism)
2. Pendekatan
Psikoanalisis
3. Pendekatan
Humanistik
PENUTUP (Kesimpulan)
DAFTAR PUSTAKA
PEMBAHASAN
Upaya pembangunan yang dilakukan selama ini, dengan berbagai bentuk dan
variasi, pada dasarnya dilakukan guna meningkatkan tingkat kesejahteraan
masyarakat. Terkait dengan luas lingkup dari kesejahteraan masyarakat ataupun
kesejahteraan sosial ini, Spicker (1995:3) menggambarkan sekurang-kurangnya ada
lima aspek utama yang harus diperhatikan. Kelima aspek ini dikenal dengan nama
“big five”, yaitu:
1.
kesehatan;
2.
pendidikan;
3.
perumahan;
4.
jaminan sosial; dan
5.
pekerjaan sosial.
Selain
Spicker, banyak ahli lain mengemukakan berbagai aspek yang perlu
dipertimbangkan dalam mengkaji indikator kesejahteraan sosial, misalnya aspek
fisik, aspek ketenagakerjaan dan aspek ekonomi.
Disamping
berbagai aspek diatas, salah satu aspek yang berbeda dan terkait dengan
indikator kesejahteraan sosial adalah aspek yang dikemukakan Zastrow (1996:4),
yaitu aspek rekreasional. Maka, bila digabungkan, sekurang-kurangnya ada
sembilan aspek (indikator besar) yang perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan
kesejahteraan sosial (social welfare
policy maker), yaitu:
1.
aspek fisik (bangunan dan
infrastuktur);
2.
aspek perumahan;
3.
aspek pendidikan;
4.
aspek kesehatan
5.
aspek ketenagakerjaan;
6.
aspek ekonomi;
7.
aspe jaminan sosial;
8.
aspek rekreasional; dan
9.
aspek pekerjaan sosial (terkait didalamnya
adalah pembahasan tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)).
Selain
berbagai aspek diatas, maka dalam proses pembangunan baik yang terjadi di dunia
internasional maupun di Indonesia, pada dasarnya dipengaruhi oleh
sekurang-kurangnya dua dimensi. Dimensi pertama
adalah dimensi makro yang menggambarkan bagaimana institusi negara melalui
kebijakan dan peraturan yang dibuatnya memengaruhi proses perubahan di suatu masyarakat,
sedangkan dimensi yang kedua adalah
dimensi makro, dimana individu, keluarga dan keluarga kecil dalam masyarakat
memengaruhi proses pembangunan itu sendiri.
A. Dimensi Makro
dalam Pembangunan
Ada beberapa
pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan ‘utama’ dalam teori pembangunan.
Hadad (1980:25-41) menyarikan dari apa yang dijabarkan oleh Troeller
mengungkapkan kembali kelima pendekatan tersebut, yaitu pendekatan pertumbuhan;
perdekatan pertumbuhan dan pemerataan; paradigma ketergantungan; pendekatan
kebutuhan pokok; dan pendekatan kemandirian.
1.
Pendekatan
Pertumbuhan (Growth Approach)
Awal pembahasan
tentang pembangunan, pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, terasa adanya suatu
optimisme dan harapan yang besar pada konsep yang disebut ‘pembangunan’ ini.
Dalam penerapan
resep yang dianggap mujarab untuk negara-negara kaya dibelahan “utara”, stategi
untuk melakukan pembangunan dilakukan dengan memerhatikan dan menggunakan
penerapan ICOR (Intremental Capital
Output Ratio) dan laju pertumbuhan ekonomi yang dikehendaki, sebagai
indikator utama.
Rostow (1960)
memperkenalkan lima tahap pembangunan ekonomi yang akan dilalui oleh setiap
negara, yaitu:
Tahap
1. Masyarakat tradisional (traditoinal
society)
Ekonomi
didominasi oleh berbagai kegiatan subsistem, dimana output lebih banyak
dikonsumsi oleh produsen dari pada diperdagangan.
Tahap
2. Tahap transisi (traditional stage)
Tahap ini juga
disebut dengan nama tahap prekondisi untuk tinggal landas (the preconditions for takeoff). Pada tahap ini terjadi perdagangan eksternal,
antarnegara, terutama yang berkaitan dengan produk-produk primer.
Tahap
3. Tahap tinggal landas (take off)
Pada tahap
tinggal landas ini, industrialisasi meningkat sehingga terjadi peralihan
pekerjaan dari sektor pertanian kesektor manufaktur. Transisi ekonomi ini akan
diikuti oleh evolusi dari institusi sosial dan politik searah dengan perubahan
yang ada.
Tahap
4. Tahap menuju kematangan (drive to
maturity)
Pada tahap ini
kehidupan ekonomi mencapai keragaman ke berbagai area sehingga mendorong
munculnya inovasi teknologi yang pada akhirnya akan meningkatkan keragaman
kesempatan untuk berinvertasi.
Tahap
5. Tahap konsumsi massa yang tinggi (high
mass consumption)
Pada tahap ini
kehidupan ekonomi sudah meningkat pada konsumsi massa (mass consumption), dimana jumlah konsumen meningkat dan jumlah
keragaman instustri juga meningkat. Oleh karena itu, sektor jasa menjadi
semakin dominan perannya pada tahap ini.
2. Pendekatan Pertumbuhan dan Pemerataan
(Redistribution of Growth Approach)
Adelman dan
Morris (1973:12-106) mengembangkan tiga tipe indikator yang dapat digunakan
sebagai indikator dasar untuk mengukur perkembangan pembangunan suatu negara. Indikator-indikator
utama tersebut, yaitu: (1) indikator-indikator suatu budaya (sociocultural indicators); (2)
indikator-indikator politik (political
indicators); dan (3) indikator-indikator ekonomi (economic indicator). Masing-masing indikator tersebut mempunyai
sejumlah subindikator, misalnya:
a. Indikator
sosial budaya mempunyai tiga belas subindikator, antara lain: besar-tidaknya
sektor pertanian tradisional dinegara tersebut (the size of the traditional agricultural sector), meluas atau
tidaknya dualisme (the extent of dualisme),
tinggi rendahnya tingkat urbanisasi (the
extent of urbanization), dan penting atau tidaknya kelas menengah (the importance of the middle class).
b. Indikator-indikator
politik mempunyai tujuh belas subindikator antara lain: tingkat integrasi dan
semangat persatuan bangsa (the degree of
national integration and sence of national unity), tingkat sentralisasi
kekuasaan politik (the degree of
centralisation ofpolitical power), tingkat keluasan partisipasi politik (the extent of political partisipation),
dan tingkat kebebasan kelompok oposan dan pers (the freedom of political opposition and the press).
c. Indikator-indikator
ekonomi mempunyai delapan belas subindikator, antara lain: Pendapatan Nasional
Bruto per kapita (per capita GNP),
tingkat pertumbuhan riil dari Pendapatan Nasional Bruto (per capita GNP), keterbengkalaian sumber daya alam (abundance of natural resources), rerata
tingkat penanaman modal bruto (gross
investment rate), dan modernisasi industri (modernizationof industry).
3.
Paradigma
ketergantungan (Dependence Paradigm)
Konsep dependence (ketergantungan) ini
dipelopori oleh Cardoso (dimunculkan sekitar tahun 1970-an) karena ia melihat kelemahan
dari konsep pembangunan yang ada pada saat itu.
Kelemahan yang pertama disebabkan perlunya
komponen-komponen dari luar negeri untuk menggerakkan kegiatan industri, hal
ini menyebabkan ketergantungan dari segi teknologi dan kapital. Kelemahan yang kedua disebabkan oleh distribusi
pendapatan Amerika Latin menimbulkan perbatasan akan permintaan terhadap barang
hasil industri yang mampu dinikmati sekelompok kecil kaum elite, dan setelah
permintaan terpenuhi, maka proses pertumbuhan berhenti (Hadad, 1980:31).
Paradigma
ketergantungan mencoba menjawab:
a. mengapa
bantuan yang sudah begitu besar diberikan oleh negara-negara dunia pertama
tidak memberikan hasil yang bermakna (significant)
pada proses pembangunan negara dunia ketiga?; dan
b. mengapa
masih banyak negara yang belum ataupun
sedang berkembang (under-developed dan
developing countries), terutama di
Amerika Selatan, yang belum mampu mengelolah pembangunan negara mereka tanpa
diberikan dukungan oleh negara-negara donor?.
4. Tata Ekonomi Internasional Baru (The New International Economic Order)
Pada awal 1972,
‘the Club of Rome’ memunculkan hasil studi mereka yang berjudul the Limits to Growth. Studi ini
mengemukakan prediksi akan munculnya bencana pada kurun waktu seratus tahun
yang akan datang bila pertumbuhan ekonomi, pertambahan ekonomi, pertambahan
penduduk, perturunan eksploitasi bahan-bahan mentah, dan peningkatan polusi
lingkungan masih tetap sama dengan tingkat pertumbuhan pada 1970-an.
Terkait dengan
isu tersebut, negara-negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC
menambahkan pula bahwa ancaman akan tetap muncul bila dominasi dari
perusahaan-perusahaan multinasional Multi
Nasional Corporations (MNC) terhadap negara-negara yang belum dan sedang
berkembang tetap berada dalam kondisi yang sama dengan kondisi pada 1970-an.
Negara-negara OPEC ini mengemukakan bahwa “akar dari stagnasi pertumbuhan
ekonomi internasional berasal dari bagaimana negara-negara industri tersebut
mengeksploitasi hubungan kerjasama mereka dengan negara-negara dunia ketiga”
(Hadad, 1980:33-34).
5.
Pendekatan
Kebutuhan Pokok (The Basic Needs
Approach)
Pendekatan ini
tumbuh karena kebutuhan akan adanya teori pembangunan yang baru dapat digunakan
untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial pada negara-negara
dunia. Pendekatan ini juga berusaha menghadapi prediksi dari Club of Rome yang pesimistik.
Dalam pendekatan
kebutuhan pokok terdapat proposisi bahwa “kebutuhan pokok tidak mungkin dapat
dipenuhi jika mereka masih berada garis kemiskinan serta tidak mempunyai
pekerjaan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik”. Karena itu, ada tiga
sasaran yang dicoba kembangkan secara bersamaan:
a. membuka
lapangan kerja;
b. meningkatkan
pertumbuhan ekonomi;
c. memenuhi
kebutuhan pokok masyarakat (Hadad, 1980:37).
6. Pendekatan Kemandirian (The Self-Reliance Approach)
Hadad (1980:39) menyataan bahwa pendekatan kemandirian (self reliance) dalam berbagai literatur
juga dikenal dengan nama pendekatan self
sustained. Pendekatan ini muncul sebagai konseuensi logis dari berbagai
upaya negara dunia ketiga untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap
negara-negara industri. Soedjatmoko (dikutip oleh Hadad, 1980) melihat bahwa
konsep kemandirian menyajikan dua perspektif, yang pertama adalah penekanan yang lebih diutamakan pada hubungan timbal
balik dan salingmenguntungkan dalam perdagangan dan kerjasama pembangunan,
sedangkan yang kedua adalah lebih
mengandalkan pada kemampuan dan sumber daya sendiri untuk kemudian dipertemukan
dengan perdebatan internasional tentang pembangunan.
Penerapan konsep kemandirian tentu membawa konsekuensi
akan perlunya diterangkan pula pendekatan kebutuhan pokok bagi kelompok miskin,
serta stategi pemerataan pendapat dan hasil pembangunan.
Disamping pendekatan pembangunan yang dikemukakan
Troeller yang dikutip oleh Hadad, sebenarnya ada pula pendekatan lain yang juga
memengaruhi pembangunan kesejahteraan sosial (social development appoach), pendekatan pembangunan yang berpusat
pada manusia (people centered
development), ataupun pendekatan pembangunan
berkesinambungan (sustainable development).
B. Dimensi Mikro dalam Pembangunan
Perubahan yang akan dilakukan terhadap masyarakat tidak
dapat diepaskan dengan upaya mengubah manusia sebagai suatu keutuhan. Oleh
karena itu, dalam upaya mengoptimalkan pembangunan yang akan dan sedang
dilaksanakan, pengenalan akan hakikat manusia sebagai aktor penting dalam
pembangunan tentunya mempunyai sumbangan tersendiri, paling tidak dan dapat
menambah wawasan ketika akan menerapkan suatu program pada masyarakat.
Salah satu disiplin ilmu yang sering dikaitkan dalam
upaya memahami manusia adalah disiplin psikologi, yang kajiannya memfokuskan
antara lain pada tingkah laku dan proses mental manusia yang terkait dengan
lingkungan sekitarnya. Dalam psikologi, terdapat tiga pendekatan besar yang
banyak mempengaruhi perkembangan dunia psikologi secara umum. Maslow dalam
Santrock (2000:10) menyatakan bahwa ketiga pendekatan utama tersebut adalah:
(1) pendekatan perilaku (behaviourism);
(2) psikonalisis; (3) pendekatan humanistik.
1.
Pendekatan Perilaku (Behavioourism)
Pada tahun 1898, Ivan Pavlov,
melakukan eksperimen terhadap anjing dalam suatu ruangan guna melihat tingkah
laku yang nyata (overt behaviour)
anjing tersebut. Eksperimen Pavlov ini dikenal dengan nama pengondisian klasik
(classical conditioning).
Pengondisian klasik ini merupakan suatu proses belajar melalui pembiasaan (conditioning) terhadap suatu objek
dengan menitik beratkan pada proses pemberian rangsang (stimuli) guna mendapatkan suatu respons tertentu (stimulus and response relation ship)
tanpa menggunakan penguat (reinforcement).
Eksperimen yang dilakukan Pavlov ini
menarik dan mengilhami seorang psikolog muda bernama John B. Watson. Watson
(Santrock, 2000:8) meyakini bahwa kajian tentang pemikiran yang disadari (conscious thought)dan proses kejiwaan (mental processes)tidaklah bisa diukur
secara objektif (lacked objectivity and
could not be measured).
Watson mendefinisikan pendekatan yang
ia kembangkan sebagai kajian ilmiah tentang perilaku dan determinan lingkungan
yang terkait dengan perilaku tersebut. Kajian ini harus bisa diukur dan
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan mempertimbangan aspek objektivitas.
Perilaku yang dimaksud oleh Watson disini adalah perilalu yang kasat mata (Observable behaviour).
Dari hal diatas, terlihat bahwa Watson
mencoba melakukan revolusi cara berfikir dalam psikologi.
Pandangan dasar dari kelompok
behavioris adalah melihat manusia sebagai makhluk yang reaktif dan berusaha
menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga banyak tingkah laku manusia dikontrol
oleh faktor-faktor yang datang dari luar. Tingkah aku seseorang lebih banyak
merupakan hasil belajar dari lingkungan, baik itu melalui pembiasaan (conditioning) maupun melalui peniruan (imitation and modelling). Berdasarkan
pandangan ini, unsur-unsur internal kepribadian dirasakan kurang memengaruhi
tingkah laku individu. Unsur lingkunganlah yang memberikan pengaruh terbesar
dalam kehidupan individu.
2.
Pendekatan Psikoanalisis
Pendekatan ini pada mulanya
dikembangkan oleh Sigmund Freud (1856-1938), seorang dokter yang biasanya
menangani pasien yang menderita kelainan jiwa (mental illness). Berlainan dengan beberapa pionir psikolog
terdahulu, Freud lebih tertarik dengan aspek-aspek yang menyebabkan seseorang
berperilaku tidak normal (abnormal
behaviour) yang terjadi pada seseorang. Ia mengembangkan suatu metode
terapi yang dikenal dengan nama psikoanalisis (psyhoanalysis). Dari beberapa pasien yang ia amati, ia
mengembangkan suatu pemikiran bahwa sebagian masalah kejiwaan (mental problems)yang dihadapi seseorang
lebih banyak disebabkan oleh konflik emosi yang tidak disadari oleh orang
tersebut.
Pandangan dasar kelompok psikoanalis
yang pada awalnya menitik beratkan pada fungsi Id (tradisional psikoanalis), dalam perkembangannya
(neo-psikoanalis) mulai bergeser dengan lebih melihat fungsi ego sebagai pusat kepribadian individu.
Ego tidak dipandang hanya sebagai
fungsi pengarahan perwujudan id,
melainkan dilihat sebagai fungsi pokok yang bersifat rasional dan bertanggung
jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial individu.
3.
Pendekatan Humanistik
Pendekatan humanistik ini juga dikenal
dengan nama pendekatan fenomenologis. McMahon (1986:25) melihat bahwa
pendekatan fenomenlogis (phenomenology)
ini dapat dilihat dari dua akar kata, yaitu logy
yang bermakna “kajian tentang sesuatu” dan kata phenomenon yang berarti
“sesuatu keadaan yang selalu berubah.” Pendekatan fenomenologis ini melihat
bahwa setiap individu adalah unique,
berbeda satu dengan yang lainnya, meskipun terjadi perubahan terus-menerus di
lingkungan mereka. Apapun yang terjadi pada lingkungan di mana ia berada,
individu akan melakukan penyeleksian sesuai dengan nilai dan kebutuhan dari
orang tersebut. Sementara itu, istilah humane
dalam pendekatan humanistik mengacu pada keyakinan terhadap adanya nilai-nilai
kebaikan dan keinginan untuk mencapai yang terbaik (Basic goodness). Hal ini dimiliki oleh setiap manusia sehingga
pendekatan ini melihat setiap manusia pada hakikatnya mempunya kemampuan untuk
mencapai hal yang terbaik tersebut.
Pendekatan perilaku melihat lingkungan
begitu dominan terhadap munculnya perilaku tertentu setiap individu, sedangkan
pendekatan humanistik melihat bahwa adanya dorongan internal (internal force) individu yang membuat
seseorang dapat menentukan di lingkungan mana ia berada (proses penyeleksian
lingkungan).
Maslow , menitikberatkan adanya potensi
positif pada setiap individu (the
positive potential of the individul). Hal yang perlu dilakukukan untuk
mencapai tingkatan yang lebih baik adalah melalui mengembangkan kondisi
lingkungan yang hangat dan mendukung (warm
and supporting situasion) setiap manusia untuk berkembang.
Pandangan dari kelompok humanistik ini
melihat manusia sebagai makhluk yang rasional dan memiliki dorongan untuk
mengarahkan dirinya ketujuan yang positif. Manusia memiliki kemampuan
mengontrol dirinya sendiri dan bila situasi memungkinkan serta mereka diberikan
kesempatan, setiap individu dapat dikembangkan menjadi pribadi yang lebih
positif.
PENUTUP (Kesimpulan)
Berdasarkan
beberapa pendekatan dalam psikologi, dapat terlihat bahwa, manusia merupakan sumber daya tersendiri dalam
pembangunan. Ia merupakan unsur penggerak utama dan mempunyai kemampuan untuk
memanipulasi dan mengintervensi sumber daya alam. Meskipun demikian, dalam
kerangka pembangunan manusia Indonesia, perkembangan unsur yang ada diatas
dilengkapi lagi dengan keterkaitan manusia dengan Maha Penciptanya sehingga
dalam kerangka pembangunan nasional, perubahan terhadap komunitas manusia juga
harus dipikirkan secara lebih luas dengan mencoba mengaitkan dengan unsur yang
Mahatinggi Kekuasaannya. Dalam pandangan terhadap manusia seperti ini, kerangka
pembangunan nasional Indonesia menjadi semakin kompleks dan abstrak karena
mencoba membangun unsur-unsur yang “Vertikal” dan “Horizontal” dalam kehidupan
tanpa melakukan sekularisasi seperti yang dilakukan pada banyak negara barat.
Pembangunan
manusia Indonesia dalam upaya memperbaiki dan memenuhi kabutuhan material dan
spiritual (lihat pula Undang-Undang Kesejahteraan Sosial) manusia Indonesia
harus pula mempertimbangkan apa yang digambarkan dalam ilustrasi diatas
(hubungan vertikal antara makhluk dan yang memciptakannya) sebagai salah satu
kriteria keberhasilan dari upaya pemberdayaan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Isbandi Rukminto.et.al., 2007, Intervensi
Komunitas dan Pengembangan Masyarakat. Jakarta: Rajawali pers.
1 komentar:
makasih cantik atas artikel nya
Posting Komentar