P e m b a h a s a n
A. Teori
Resiprositas
Fenomena pertukaran dalam masyarakat memang
sangat menarik untuk dipelajari, karena resiprositas menyangkut pertukaran timbal
balik antar individu atau antar kelompok yang selalu ada dalam setiap
lapisan masyarakat, bahkan menurut Polanyi, seorang ahli yang concern
dalam meneliti klasifikasi pertukaran. Menyebut rasa timbal
balik (resiprokal sangat besar yang difasilitasi oleh bentuk simetri instisional. Ciri utama
organisasi orang- orang yang tidak terpelajar.
Berpijak dari batasan tersebut ,maka dapat
disimpulkan bahwa tanpa adanya hubungan simetris antar kelompok atau
antar individu ,maka resiprositas cenderung tidak akan berlangsung.
Hubungan simetris ini adalah hubungan sosial, dengan masing-masing
pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama
ketika proses pertukaran berlangsung. contohnya
adalah dalam waktu yang sama dan di sebuah lingkungan yang
sama terdapat dua orang yang mengadakan selamatan, namun
salah satunya punya kedudukan lebih tinggi dalam stratifikasi sosial
di masyarakat. Dalam aktivitas tersebut mereka
tidak menempatkan diri pada kedudukan sosial yang berbeda. Mereka
sejajar sebagai warga kelompok keagamaan, meskipun sebagai
warga desa mereka mempunyai derajat kekayaan dan prestise sosial yang
berbeda-beda. Peristiwa tersebut menunjukkan adanya posisi sosial yang
sama, pada suatu saat menjadi pengundang dan yang diundang.
Konsep resiprositas berbeda dengan konsep redistribusi karena adanya hubungan
simetris tersebut sebagai syarat timbulnya aktivitas resiprositas. Sebaliknya, aktivitas redistribusi memerlukan adanya individu-individu tertentu yang tampil
sebagai pengorganisir pengumpulan barang atau jasa dari anggota-anggota kelompok. Setelah dikumpulkan kemudian
barang atau jasa tersebut didistribusikan kembali kedalam kelompok tersebut dalam bentuk barang atau jasa yang sama atau berbeda. Contoh redistribusi
misalnya, kewajiban warga masyarakat untuk membiayai pesta desa dan melakukan kerja bakti. Masyarakat menyediakan dana dan
tenaga untuk aktivitas tersebut, kemudian mereka menikmati hasil partisipasi mereka bersama. Dalam aktivitas tersebut kelompok sebagai suatu organisasi mendelegasikan wewenang kepada individu tertentu untuk
mengontrol pelaksanaan dari aktivitas tersebut.
Karakteristik lain yang menjadi syarat sekelompok individu atau beberapa kelompok
dapat melakukan aktivitas resiprositas adalah adanya hubungan personel diantara mereka. Pola hubungan ini terutama terjadi di dalam komunitas kecil dimana anggota-anggotanya menempati lapangan hidup yang
sama. Dalam komunitas kecil itu kontrol social sangat kuat dan hubungan sosial yang intensif mendorong orang
untuk berbuat untuk mematuhi adat kebiasaan. Sebaliknya, hubungan impersonal tidak bisa menjamin
berlakunya resiprositas karena interksi antar pelaku kerjasama resiprositas
sangat rendah sehingga pengingkaran pun semakin mudah muncul.
Proses pertukaran resiprositas lebih panjang dari pada jual beli. Proses jual beli
biasanya terjadi dalam waktu yang sangat pendek, misalnya jual beli
barang di pasar. Kalau pembeli telah menawar barang dan mampu membayar kontan,
maka kalau barang telah dibayar berarti proses jual beli tersebut
berakhir. Proses pertukaran resiprositas ada yang relatif pendek, namun juga ada yang panjang. Dikatakan pendek, kalau proses tukar menukar barang atau jasa dilakukan dalam jangka
waktu tidak lebih dari satu tahun, misalnya tolong menolang
antar petani dalam mengerjakan tanah. Tolong menolong ini dapat berlangsung hanya dalam satu musim tanam, dan kalau kedua belah pihak telah memberikan bantuan dan menerima kembali bantuan yang diberikan,maka proses
resiprositas tersebut dapat dikatakan telah berakhir.
Proses resiprositas yang panjang jangka waktunya sampail ebih dari satu tahun, misalnya
sumbang-menyumbang dalam peristiwa perkawinan. Tidak setiap rumah tangga
yang membudayakan tradisi sumbang menyumbang. Dalam kenyataannya, proses resiprositas dapat berlangsung sepanjang hidup seorang individu
dalam masyarakat, bahkan mungkin sampai diteruskan oleh anak keturunannya. Seorang petani misalnya, sejak kecil
dia mewakili orang tuanya ikut gotong-royong dengan tetangganya serta keturunan mereka. Situasi seperti ini dapat terjadi karena komunitas tempat hidup petani tersebut
merupakan perwujudan dari nilai-nilai kebersamaan.
Pentingnya syarat adanya hubungan personal bagi aktivitas resiprositas adalah
berkaitan dengan motif-motif dari orang melakukan resiprositas. Motif tersebut adalah harapan untuk mendapatkan prestise sosial seperti,misalnya:
penghargaan, kemuliaan, kewibawaan, popularitas, sanjungan, dan berkah. Motif
tersebut tidak hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang melakukan kerjasama resiprositas, tetapi juga lingkungan dimana mereka
berada.
Keberadaan resiprositas juga ditunjang oleh
struktur masyarakat yang egaliter yaitu suatu masyarakat yang ditandai
oleh rendahnya tingkat stratifikasi sosial, sedangkan kekuasaan politik
relatif terdistribusi merata dikalangan warganya. Struktur masyarakat yang egaliter ini memberikan
kemudahan bagi warganya untuk menempatkan diri dalm kategori sosial yang sama ketika mengadakan
kontak resiprositas.
Menurut Sahlins (1974), ada tiga macam resprositas
yaitu resiprositas umum, resiprositas sebanding, dan resiprositas
negatif. Resiprositas yang terakhir ini sebenarnya kata lain dari pertukaran pasar atau jual beli dan lebih tepat dibicarakan
diluar kesempatan ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa jenis-jenis resiprositas tersebut berhubungan dengan pola-pola
organisasi sosial, ukuran kekayaan, dan tipe barang yang dipertukarkan.
Dalam resiprositas umum tersebut tidak ada hokum-hukum yang dengan
ketat mengontrol seseorang untuk memberi atau mengembalikan.
Hanya moral saja yang mengontrol dan mendorong pribadi-pribadi untuk
menerima resiprositas umum sebagai kebenaran yang tidak
boleh dilanggar. Orang yang melanggar kerjasama resiprositas ini bisa
mendapat tekanan moral dari “masyarakat” atau “kelompok” yang
mungkin berupa umpatan, peringatan lisan, atau
gunjingan yang dapat menurunkan martabat dalam pergaulan di masyarakat atau kelompoknya.
Sistem resiprositas umum dapat menjamin individu-individu terpenuhi kebutuhannya
pada waktu mereka tidak mampu ”membayar” atau mengembalikan atas apa yang mereka terima dan pakai. Sejak
lahir manusia telah tergantung dari orang lain, misalnya ibunya. Manusia membutuhkan teman untuk
berbagi rasa dalam memecahkan masalah hidup dan menikmati kebahagiaan.
Tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat industri yang relatif baik membuat
corak resiprositas umum menjauh dari fungsi pemenuhan kebutuhan pokok. Masyarakat nampaknya
menempatkan resiprositas ini sebagai sarana maupun produk dan simbol dari hubungan kesetiakawanan atau
cinta kasih. Bentuk resiprositas yang cocok untuk memenuhi kebutuhan
tersebut adalah resiprositas simbolik.
Resiprositas simbolik sebagai salah satu bentuk
resiprositas umum merupakan suatu adat kebiasaan memberi dan menerima sebagai sarana untuk menjalin
hubungan persahabatan semata, tanpa mempunyai makna yang dekat dengan usaha memenuhi kebutuhan ekonomi. Dalam masyarakat sederhana,
resiprositas umum cenderung memusat dikalangan orang yang mempunyai hubungan
kerabat dekat. Dalam masyarakat desa agraris, meskipun struktur keluarga yang berlaku misalnya keluarga kecil,
namun resiprositas di kalangan keluarga dekat nampak lebih kuat dibanding masyarakat kota.
Golongan masyarakat yang nafkahnya dekat dengan
batassubstansi seringkali melembagakan resiprositas umum sebagaimekanisme untuk
mengatasi kondisi tersebut. Dalam masyarakat ini, orang memberi nilai tinggi terhadap teman dan kerabat. Saling member hasil buruan merupakn
kebiasaan yang lazim dalam masyarakat pemburu. Kebiasaan tersebut dapat berfungsi sebagai alat untuk distribusi pangan yang merata. Namun
demikian, kebiasaan tersebut dapat memacu aktivitas kegiatan berburu dan meramu di kalangan kelompok pemburu.
Resiprositas
sebanding menghendaki barang atau
jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sebanding. Kecuali itu
dalam pertukaran tersebut disertai pula dengan kapan pertukaran
itu berlangsung. Dalam pertukaran ini, masing-masing pihak
membutuhkan barang atau jasa dari pertnernya, namun masing-masing
tidak menghendaki untuk memberi dengan nilai lebih dibandingkan dengan yang akan
diterima. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa individu-individu atau
kelompok-kelompok yang melakukan transaksi bukan sebagai
satu unit-unit sosial, melainkan sebagai unit-unit sosial yang otonom.
Resiprositas sebanding berada di tengah-tengah antara resiprositas umum dengan
resiprositas negatif, kalau resiprositas sebanding bergerak ke arah resiprositas umum, maka hubungan sosialyang
terjadi mengarah ke hubungan kesetiakawanan dan ke arah hubungan yang lebih
intim, sebaliknya kalau bergerak ke arah resiprositas negatif maka hubungan
sosial yang terjadi bersifat tidak setia kawan, yakni masing-masing pihak mencoba untuk mengambil keuntungan dari lawannya.
Resiprositas negatif, transformasi ekonomi di
bidang system pertukaran yang terjadi dinegara berkembang merupakan suatu
proses yang terus berjalan. Proses ini sementara menggambarkan dua pola besar. Pertama,
hilangnya bentuk-bentuk pertukaran tradisisonal diganti oleh bentuk
pertukaran modern. Kedua, adalah munculnya dualisme pertukaran. Dengan berkembangnya uang
sebagaia alat tukar, maka barang dan jasa akan kehilangan nilsi simbolik yang luas
dan beragam maknanya karena uang dapat berfungsi memberikan nilai
standart obyektif terhadap barang dan jasa yang dipertukarkan. Hal inilah yang disebut negatif,
karena dapat menghilangkan suatu tatanan pertukaran yang telah ada.
Tingkat gotong royong pun sekarang semakin berkurang
karena kegiatan masyarakat yang semakin money oriented membuat nilai nilaikeikhlasan
untuk saling membantupun berkurang.
B. Prinsip
Resiprositas versus tuntutan-tuntutan masyarakat internasional
Sejak hak rakyat untuk menentukan
sendiri dan hak individu memperoleh pengakuan masyarakat internasional, maka
prinsip resiprositas yang semula menjadi landasan pergaulan masyarakat
internasional mulai terpengaruh. Prinsip resiprositas menekankan sebuah negara
harus memenuhi kewajibannya selama pihak lain juga melakukan kewajiban yang
sama, sebaliknya bila negara lain tidak memenuhi kewajibannya, maka tak
ada alasan bagi suatu negara untuk mematuhi kewajibannya.
Hak menentukan nasib sendiri telah
mempengaruhi prinsip resiprositas dalam dua hal. Pertama, hak ini
telah menyadarkan suatu negara penindas bahwa dirinya terikat hukum yang
tidak bisa ditolaknya. Hukum yang menandaskan bahwa rakyat yang ditindasnya
harus diberi kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri, bahkan demi haknya
itu mereka diizinkan untuk mengangkat senjata.
Kedua, hak negara ketiga untuk memberikan perhatian secara absah
terhadap nasib rakyat yang ditindas. Dahulu hak ini hanya akan dimiliki suatu
negara bila mereka telah mengikat diri dalam satu perjanjian internasional yang
membolehkan negaranya untuk ikut campur dalam urusan tersebut.
Demikian pula dengan pengakuan hak-hak
individu telah mempengaruhi prinsip resiprositas karena semua negara harus
menunjukkan kesungguhan mereka dalam melindungi kebebasan fundamental yang
dimiliki individu. Kesungguhan ini harus tampak dari tindakan mereka ketika
berhubungan dengan rakyatnya, dan bila terbukti melakukan pelanggaran hak, maka
negara lain akan menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran tersebut. Dengan
kata lain, setiap negara dapat mendesak suatu negara agar menghentikan tindak
pelanggaran hak-hak individu, meskipun individu yang dilanggar haknya tersebut
bukan warga negaranya.
Bila semula gagasan resiprositas
menempatkan unsur penting pada kebangsaan, sekarang telah digantikan
tempatnya oleh keinginan untuk menjaga manusia sebagaimana adanya. Artinya bila
suatu negara A memperlakukan warga negara B yang tinggal di negara A dengan
baik bukan lagi karena didorong oleh kepentingan agar negara B melakukan hal
serupa terhadap warga negara A yang tinggal di negara B, melainkan karena
keyakinannya bahwa tindakan tersebut sudah merupakan suatu kewajaran dalam
menjaga nilai-nilai kemanusiaan.
Berbicara petani, sama halnya
berbicara kaum marginal lain, seperti buruh , tukang las, karyawan kontrak.
Mereka di hadapkan pada masalah yang sama : eksploitasi . Kalau buruh, di
eksploitasi(baca: di peras) tenaga dan keringatnya oleh majikan dan bos mereka,
tukang las di peras tenaga oleh pemilik bengkel, maka petani pun dieksploitasi tenaga
dan segenap modal yang dipunya (semisal sepotong tanah ) atau penyewa dari
“tuan tanah” . Petani menurut James T scott , sebenarnya mempunyai kekuatan
subsistens dan Norma Resiprositas , untuk melawan hegemoni yang memeras
(eksploitatif) . Beberapa bentuk perlawanan dan kemarahan yang dilakukan
petani, tidak lebih karena hak-haknya tidak hargai dan di perlakukan secara
tidak adil, Dan bahkan, penderitaan yang di rasakan mereka telah mengkebiri
nilai-nilai moral, yang di junjung begitu tinggi . Sebenarnya, seberapa jauh
kekuatan yang di miliki para petani, tersebut mampu menyelesaikan ketidakadilan
yang menimbulkan kemarahan moral dari mereka, tergantung dari bagaimana
memenuhi kebutuhan dan hak yang harusnya di terima petani. Cenderung lemah
Menurut James T Scott, definisi mengenai petani ada dua macam, pertama , ia
adalah seseorang pencocok tanam, yang umumnya nya hidup di pedesaan dan
produksinya, terutama di tujukan untuk memenuhi kebutuhan –kebutuhan konsumsi
keluarganya, ini bersifat sentralistik. Kedua, ia merupakan bagian dari satu
masyarakat yang lebih luas (termasuk golongan elit yang bukan petani, dan negara)
yang melakukan pungutan-pungutan terhadapnya. Dengan pengertian tersebut, petani
dalam melakukan aktivitasnya, secara umum tidak sendirian, karena dia ternyata
harus berhadapan dengan sang “tuan tanah” dan negara. Beruntung bagi petani,
ketika yang di hadapinya majikan atau tuan tanah yang bermoral baik, karena hak dan
kebutuhan hidup yang seharusnya mereka rasakan akan terpenuhi . Tapi kebanyakan,
sosok yang di hadapi petani , baik pada level tuan tanah, bahkan negara,
memposisikan petani pada situasi yang lemah dan mudah di eksploitasi. Dan,
dalam beberapa kasus yang terjadi di negara Asia Tenggara, seperti Viertnam dan
Myanmar, menunjukkan adanya pelanggaran moral-ekonomi yang yang di lakukan oleh
segelintir golongan elit dan negara. Hal tersebut menjadi sebab terjadinya
pemberontakan oleh kaum petani. Posisi petani memang sering menjadi objek
kepentingan para elit dan negara, hal ini telah terjadi jauh-jauh hari, seperti pada masa zaman kolonial. Hal inilah yang memunculkan
perilaku “bejat” dari para elit penguasa untuk menguras sebesar-besarnya sumber daya alam (kebanyakan yang di garap petani) untuk di
angkut ke negaranya tanpa memberi harga yang layak dan upah yang memadai atas
tenaga yang dikeluarkan para petani. Sejauh mana pengertian eksploitasi yang di
maksud? James scott memberi penjelasan tentang makna ekploitasi, yang
berhubungan dengan tindakan moral tadi, dia menyatakan “ada sementara individu,
kelompok, atau kelas yang secara tidak adil atau secara tidak wajar menarik
keuntungan dari kerja, atau atas kerugian orang lain”, hampir senada dengan
scott, dalam kamus populernya, Pius dan M Dahlan mendifinisikan eksploitasi
sebagai pemerasan, pengusahaan penyalagunaan dan penarikan keuntungan secara tidak wajar . Dengan pemahaman
tersebut, petani benar-benar tidak diberi ruang dan kesempatan, untuk menikmati
hasil jerih payahnya, secara layak dan memadai, sehingga tata hubungan yang seharusnya
menguntungkan kedua belah pihak di simpangkan lewat keuntungan sepihak . Untuk
memudahkan identifikasi terjadinya eksploitasi, Scott menyebutkan dua ciri
eksploitasi , pertama dilihat dari “kacamata” sosialis, yakni ekploitasi
sebagai satu tata hubungan antar peroangan , kelompok atau lembaga , di satu
sisi ada pihak yang di eksploitasi, di pihak lain ada yang mengeksploitasi. Kedua, dilihat dari sudut non sosialis, ekploitasi sebagai distribusi yang
tidak wajar dari usaha dan hasilnya, dan hal ini memerlukan adanya satu ukuran
tentang keadilan distribusi. Adanya ketidakadilan mengimplikasi suatu norma tentang
keadilan. Sebenarnya, ada persoalan serius yang di hadapkan oleh “sosok”
eksploitasi ini. Persoalan di sebabkan tentang adanya ukuran standar tentang
tata hubungan tersebut yang masih belum bisa dijadikan kesepakatan secara pasti
dan mengikat. Bagi satu orang mungkin bisa menerima standar; ukuran (eksploitasi) tersebut, tapi pada pihak yang lain menganggap hal tersebut
tidak sah. Scott mencontohkan bagi seseorang yang menganut tradisi marksis, tentu akan mengatakan, teori tentang nilai berdasar tenaga kerja,
adalah merupakan landasan konsepsial untuk menilai tingkat eksploitasi. Oleh karena
bagi mereka (marksis), semua nilai pada tingkat terakhir, berasal dari
tenaga kerja, maka nilai lebih yang di ambil semata-mata atas dasar
pemilikan sarana produksi dalam bentuk sewa, laba, dan bunga, merupakan ukuran-ukuran eksploitasi. Akan tetapi teori tersebut tidak berlaku , bagi
sebagian orang yang ekploitasi sebagai sebuah tata hubungan obyektif, yang
memungkinkan orang, untuk melihat secara seksama, situasi yang tidak begitu
eksploitatif, dan atau eksploitasi yang lebih eksploitatif. Pola eksploitasi
akan semakin tersamar, bahkan sulit di buktikan, ketika seseorang dihadapkan
pada metode deduktif. Menurut Scott tingkat kesulitan pertamanya adalah sampai
sejauh mana orang dapat menerima prinsip-prinsip moral yang di jadikan landasan bagi kriteria tentang
keadilan itu. Sehingga harus ada kata sepakat antar fihak yang saling
berhubungan. Kedua, melemahkan kegunaan analitis akan konsep itu sendiri,
dan pada gilirannya, konsep-konsep tadi tidak bisa “jembatan “ antara pengertian yang aprtiori
tentang eksploitasi daengan perasaan subyektif dari yang di eksploitasi. Untuk
solusi menjelaskan ukuran eksploitasi tersebut Scott menawarkan
adanya konsep tentang kesadaran palsu (False consciousness) di sebutkan dengan
konsep tersebut andai kata persepsi dapat di ukur secara tepat, maka persepsi-persepsi buruh dan atau petani, yang menurut teori tidak di eksploitasi ,
tidak sesuai dengan situasi obyektif mere maka mereka di katakan sebagai dalam
suatu keadaan palsu. Konsep ini berbicara akan kemungkinan yang sangat riiil
,bahwa, masalah sipelaku bukan sekedar masalah persepsi yang keliru. Konsep
tersebut secara otomatis mengabaikan kemungkinan bahwa orang tersebut memang
mempunyai ukuran-ukuran sendiri yang langgeng tentang keadilan dan
eksploitasi. inilah yang menyebabkan dia menilai situasinya sendiri secara
berlainan dengan pengamat deduktif. Dengan kata lain dia mungkin mempunyai
moral ekonomi sendiri.
D.Resiprositas Alam dan Manusia
a.
Dominasi Manusia atas
Alam
Manusia telah lama dianggap memiliki
legitimasi yang kuat untuk menaklukan dan menguasai alam. Pandangan ini bertumpu
pada suatu pandangan di mana manusia adalah pusat dari seluruh kehidupan
(antroposentrisme); sebuah pandangan khas dari era modern.
Seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, paradigma peradaban modern menempatkan manusia sebagai satu-satunya
agen rasional yang memiliki otoritas atas seluruh alam. Dengan begitu,
menguasai dan mendominasi alam dapat dibenarkan. Sejalan dengan hal tersebut,
segala sesuatu yang terdapat di alam hanya akan mendapat nilai dan perhatian
sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Akibatnya kemudian, alam menjadi
kehilangan nilai pada dirinya sendiri, ia tak lebih daripada sarana belaka bagi
pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Alam dianggap pertama-tama sebagai instrumen
teknis belaka dari kebutuhan hidup manusia, baru kemudian diperhatikan sejauh
ia tidak merugikan kepentingan tersebut.
Akan tetapi, apa yang terjadi
kemudian? Sampai pada satu saat ketika alam tidak dapat menolerir lagi represi,
dominasi, dan eksploitasi sedemikian rupa atas dirinya, ia menumpahkan kesahnya
dalam berbagai macam bentuk, yang memakan biaya kemanusiaan cukup fatal. Alam
secara langsung mengoreksi dominasi manusia terhadap dirinya.
Yang terjadi di Situ Gintung dalam
amatan saya merupakan salah satu contoh dari koreksi alam atas dominasi manusia
yang telah mengakumulasi.
b.
Bekerja Sama dengan Alam
Untuk keluar dari pandangan semacam
itu diperlukan sebuah pemahaman yang menekankan pada relasi timbal-balik yang
saling menguntungkan antara manusia dan alam. Manusia harus mampu memahami
bahwa alam adalah entitas yang memiliki nilai pada dirinya sendiri. Manusia pun
perlu menyadari bahwa kita harus dapat bekerja sama dengan alam alih-alih
berusaha untuk terus-menerus menaklukan dan mengeksploitasinya.
Berseberangan dengan antroposentrisme,
pemahaman ini berpusat pada suatu gagasan bahwa alam dan seluruh isinya
mempunyai harkat dan nilai di dalam komunitas kehidupan bumi. Alam mempunyai
nilai karena ada kehidupan di dalamnya.
Pemahaman ini bersumber dari sebuah
kesadaran bahwa kehidupan adalah hal yang sakral. Karena itu, setiap kehidupan
di muka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama. Implikasinya kemudian, alam
pun adalah subjek moral. Artinya, alam merupakan suatu entitas yang perlu
dihormati, dihargai, dan jika hendak mengolah kekayaannya harus melalui suatu
pendekatan kerja sama, alih-alih penaklukan ataupun dominasi.
Dengan begitu, manusia tidak lagi
mengeksploitasi alam secara membabi buta hanya untuk menyakini bahwa manusia
lebih superior atas dasar pertimbangan teknis ekonomis. Menurut hemat saya,
lebih baik kiranya untuk mengedepankan suatu perspektif bahwa alam adalah mitra
kerja manusia dalam mewujudkan kebaikan keduanya. Sebuah win-win solution bagi alam dan
manusia.
Pendekatan semacam itu sebenarnya
sudah dimiliki oleh kearifan lokal yang tersimpan dalam kebudayaan-kebudayaan
masyarakat asli. Ini kiranya dapat dikaji dan diangkat kembali. Dan yang tak
kalah pentingnya adalah mendesakan pemahaman hormat serta berkerja sama dengan
alam ke dalam setiap pengambilan kebijakan publik, perencanaan
pembangunan, sampai pada tindak tanduk keseharian kita. Karena pada akhirnya
ternyata kita tidak lebih superior daripada alam. Alam memiliki bahasa dan
hukumnya sendiri. Dan merupakan bagian kita untuk memahami dan bekerja sama
dengannya.
Inti hukum Romawi kontrak adalah
maksim pacta sunt servanda, yang dijadikan ketentuan dasar iktikad baik.
Menurut formulasi Justianus, pacta sunt servanda mempertahankan prinsip:
“What is so suitable to the good of mankind as to observe those things which
parties have agreed upon”. Dengan demikian, fides bermakna sebagai keyakinan
akan perkataan seseorang.
Bona fides diterapkan untuk memastikan
isi kontrak. Kepercayaan akan perkataan seseorang merupakan prasyarat bagi
suatu hubungan hukum, dan Cicero menggambarkannya sebagai fundamentum
iustitiae. Bona fides tidak hanya menuntut pemenuhan pelaksanaan kontrak
itu sendiri, tetapi juga mensyaratkan agar para pihak bertindak secara jujur,
yang mempengaruhi jalannya pelaksanaan kontrak.
Lombardi dan Wieacker mempercayai
ajaran fides itu sebagai perlindungan bagi kepentingan seseorang agar orang
memenuhi janjinya, sehingga dalam fides dikombinasikan dua makna, yakni
trust dan trustworthiness. Iktikad baik tersebut tidak hanya mengacu
kepada iktikad baik para pihak, tetapi harus pula mengacu kepada nilai-nilai
yang berkembang dalam masyarakat, sebab iktikad baik merupakan bagian
dari masyarakat.
Iktikad baik ini akhirnya mencerminkan
standar keadilan atau kepatutan masyarakat. Dengan makna yang demikian
itu menjadikan standar iktikad baik sebagai suatu universal social force yang
mengatur hubungan antar sosial mereka, yakni setiap warganegara harus memiliki
kewajiban untuk bertindak dengan iktikad baik terhadap semua warganegara.
Ini merupakan konsepsi objektif, yang secara universal diterapkan dalam
semua transaksi.
Hal ini sesuai dengan postulat Roscoe
Pound yang menyatakan “Men must be assume that those with whom they deal in
general intercourse of society will act in good faith and will carry out
their undertaking according to the expectation of the community”. Dengan
demikian, jika seseorang bertindak dengan iktikad baik sesuai dengan standar
objektif yang didasarkan pada kebiasaan sosial, maka orang lain juga
harus bertindak yang serupa terhadap dirinya.
Di dalam hukum Kanonik, kewajiban
iktikad baik menjadi suatu moral yang universal yang secara individual
ditentukan oleh kejujuran dan kewajiban seseorang kepada Tuhan.
Setiap individu harus memegangteguh atau mematuhi janjinya. Para sarjana
hukum Kanonik mengkaitkan iktikad baik dengan good conscience.
Mereka memasukkan makna religius faith
ke dalam good faith dalam pengertian hukum. Dengan demikian, konsep
iktikad baik dalam hukum Kanonik menggunakan standar moral subjektif yang
didasarkan pada kejujuran individual. Konsep ini jelas berlainan dengan konsep
iktikad baik dalam hukum Romawi yang memandang iktikad baik sebagai suatu
universal social force. Asas iktikad baik ini muncul kembali pada komunitas
pedagang (mercantile community) sepanjang abad ketujuh hingga keduabelas.
Selain dipengaruhi oleh aspek religius, perkembangan iktikad baik juga
dipengaruhi pertumbuhan komunitas pedagang pada abad duabelas yang memerlukan
iktikad baik di dalam hubungan diantara mereka.
Ini berkaitan dengan iktikad baik
dalam hubungan komersial yang diserap hukum merkantil (lex mercatoria) Eropa
pada abad sebelas dan duabelas. Pada waktu itu kelompok pedagang itu
memerlukan seperangkat hukum merkantil baru yang dikembangkan untuk
kebutuhan mereka. Hukum merkantil yang berkembang saat itu tidak hanya mengatur
jual beli barang, tetapi juga mencakup berbagai aspek lain dalam
transaksi komersial, seperti pengangkutan, asuransi, dan pembiayaan. Untuk
memfasilitasi pertumbuhan sektor komersial tersebut, pedagang Eropa
tersebut meminta penekanan adanya suatu fokus baru bagi hak yang bersifat
timbal balik.
Fokus resiprositas ini yang diinginkan
adalah adanya suatu transaksi komersial yang fairly exchange diantara para
pihak yang dimanifestasikan oleh pembagian keuntungan dan tanggung jawab yang
seimbang. Prinsip resiprositas menjadi jantung atau inti hukum merkantil
pada abad sebelas dan duabelas. Resiprositas sendiri dipahami dalam makna
saling memberi dan menerima (take and give) dalam seluruh
transaksi komersial yang mencakup seluruh keuntungan dan tanggung.
F. Teori
Keadilan John Rawls
Rawls mengemukakan suatu ide dalam bukunya A Theory of Justice bahwa
teori keadilan merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menghasilkan
keadilan. Ada prosedur-prosedur berfikir untuk menghasilkan keadilan.
Teori Rawls didasarkan atas dua prinsip yaitu Ia melihat tentang Equal
Right dan juga Economic Equality. Dalam Equal Right
dikatakannya harus diatur dalam tataran leksikal, yaitu different principles
bekerja jika prinsip pertama bekerja atau dengan kata lain prinsip perbedaan
akan bekerja jika basic right tidak ada yang dicabut (tidak ada
pelanggaran HAM) dan meningkatkan ekspektasi mereka yang kurang beruntung.
Dalam prinsip Rawls ini ditekankan harus ada pemenuhan hak dasar sehingga
prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain ketidaksetaraan
secara ekonomi akan valid jik tidak merampas hak dasar manusia.
Bagi Rawls rasionalitas ada 2 bentuk yaitu Instrumental Rationality
dimana akal budi yang menjadi instrument untuk memenuhi kepentingan-kepentingan
pribadi dan kedua yaitu Reasonable, yaitu bukan fungsi dari akal budi
praktis dari orang per orang. Hal kedua ini melekat pada prosedur yang
mengawasi orang-orang yang menggunakan akal budi untuk kepentingan pribadinya
untuk mencapai suatu konsep keadilan atau kebaikan yang universal. Disini
terlihat ada suatu prosedur yang menjamin tercapainya kebaikan yang universal,
dengan prosedur yang mengawasi orang per orang ini akan menghasilkan public
conception of justice.
Untuk itu Rawls mengemukakan teori bagaimana mencapai public
conception, yaitu harus ada well ordered society (roles by public
conception of justice) dan person moral yang kedunya dijembatani
oleh the original position. Bagi Rawls setiap orang itu moral subjek,
bebas menggagas prinsip kebaikan, tetapi bisa bertolak belakang kalau dibiarkan
masyarakat tidak tertata dengan baik. Agar masyarakat tertata dengan baik maka
harus melihat the original position. Bagi Rawls public conception of
justice bisa diperoleh dengan original position. Namun bagi Habermas
prosedur yang diciptakan bukan untuk melahirkan prinsip publik tentang keadilan
tetapi tentang etika komunikasi, sehingga muncul prinsip publik tentang
keadilan dengan cara consensus melalui percakapan diruang public atau
diskursus.
Ada beberapa basic assumption agar dalam masyarakat bekerja sama
dalam kondisi Fair, pertama, anggota masyarakat tidak memandang tatanan sosial
masyarakat tidak berubah. Masyarakat harus menuju keadilan, sehingga masyarakat
terbuka pada perubahan, terutama perubahan struktur sosial. Kedua, kerjasama
dibedakan dengan aktifitas yang terkoordinasi hal ini dapat dilihat dari :
1.
Bentuk
kerjasama selalu berpijak pada keadilan sedangkan coordinated activity
berpijak pada efektifitas/ efisiensi
2.
Kerjasama (organizing
principle) aturan dibuat untuk mengatur anggota-anggotanya (mengikat,
mengatur kepentingan-kepentingan anggota) sedangkan dalam coordinated
activity aturan dibuat untuk kepentingan yang membuat aturan.
3.
Dalam
kerjasama (organizing principle) harus sah secara publik (harus
disepakati oleh partisipan) sedangkan dalam coordinated activity tidak
ada organisasi, aturan tidak harus sah secara publik.
Ketiga, gagasan kerjasama yang fair mengandaikan kebaikan akan
keuntungan partisipan (partisipan punya gagasan sendiri dan bertemu dengan
gagasan lainnya dengan cara rasionalitas) bukan masing-masing pihak melepaskan
kepentingan tapi masing-masing ingin punya keuntungan yang rasional (karena
ingin mendapatkan untung maka ada kerjasama, kalau saling mengalah tidak akan
tercapai kerjasama)
Resiprositas dalam kerjasama yang Fair mempunyai arti bukan meninggalkan
kepentingan pribadi untuk kepentingan bersama dan juga bukan merumuskan aturan
berdasarkan kekinian dan ekspektasinya.
Untuk mencapai Keadilan mengukur keuntungan atau hasil pengukuran
keuntungan bukan bertolak dari orang per porang (particular) tetapi
bertolak dari pure procedural of justice. Ide dari resiprositas adalah
ada pada different principles yang mempunyai fungsi untuk
mengijauantahkan ide resiprositas. Prinsip perbedaan merupakan peningkatan
kekinian dan ekspektasi orang yang beruntung harus sama dengan kekinian dan
ekspektasi orang yang kurang beruntung (resiprositas)
Resiprositas bukan merupakan imparsilaitas atau pun win win solution,
juga bukan marxisme yang menekankan pada sama rasa sama rata, atau pun
liberalisme yang dilihat sebagai ideology yang melihat tidak ada
kerjasama tapi interaksi (ada equilibrium). Resiprositas bukan doktrin
melainkan sebuah gagasan tentang prosedur untuk memperoleh keadilan yang
resiprokal. Manusia dapat menerima keadilan dengan menganut system kerjasama
atau keadilan yang fair.
Rawls percaya bahwa ada kemampuan orang untuk revising. Person
moral adalah warga negara yang sama dalam 2 daya moral. Pertama, membentuk,
merevisi, menjalankan gagasan keuntungan atau keadilan yang rasional untuk
kebaikan atau tujuan final. Kedua, daya untuk memahami, menerapkan dan
bertindak pada kesepakatan yang telah dicapai yang mencerminkan keikhlasan
untuk mencapai kepentingan atau keuntungan bersama.
K e s i m p u l a n
Resiprositas berarti pertukaran timbal balik antar individu atau antar kelompok yang selalu ada dalam setiap
lapisan masyarakat baik antar individu maupun antar kelompok. bahwa tanpa adanya
hubungan simetris antar kelompok atau antar individu, maka resiprositas
cenderung tidak akan berlangsung. Hubungan simetrisyang dimaksud ini merupakan
hubungan sosial, masing-masing pihak menempatkan diridalam kedudukan dan peranan yang sama saat proses pertukaran berlangsung.
Pentingnya syarat
adanya hubungan personal bagi aktivitas resiprositas adalah berkaitandengan motif-motif
dari orang melakukan resiprositas. Motif tersebut adalah harapan untuk mendapatkan prestise social.
Menurut Sahlins (1974), ada tiga macam resprositas
yaitu resiprositas umum, resiprositas sebanding, dan resiprositas
negatif.
D a f t a r P u s t a k a
1 komentar:
teori resiprositasnya dari buku apa ya? thanks
Posting Komentar